N I S A - 1

18 2 0
                                    

"Bibirnya tersenyum lebar, tapi hatinya merintih hebat."

"Maaf, saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkhendak lain. Tepat malam ini, beliau menhembuskan nafas terakhirnya."

Samar-samar kudengar, tubuhku terdiam kaku, nafasku sesak, dadaku bergemuruh, aku ambruk.

Suatu ingatan terbesit di pikiranku

"Papah, Nisa mau jadi dokter, kalau Papah sakit, berobatnya ke Nisa aja, yah, gak bayar, kok. Nisa juga bakal jadi dokter yang baik, nggak galak. Nanti Nisa usir penyakit yang datang ke Papah. Kaya gini, hush hush."

"Siap, dokter kecil!"

"Papah, pokoknya kalau Nisa wisuda, Papah bajunya harus couple-an sama Nisa, oke?"

"Iyaa, cantik."

Aku tertawa mengingatnya, kemudian aku menangis. Meraung-raung tak henti-hentinya.

Papah, Papah jahat.
Tuhan juga gitu, jangan ambil Papahnya Nisa dulu.
Papah, jangan sakit, Nisa belum jadi dokter, Pah.
Papah, nanti kalau Nisa wisuda, Papah datang, 'kan? Nisa bakal lihat senyum bangga Papah, 'kan?
Papah, katanya kita mau couple-an di wisuda Nisa, ta-tapi Papah, kok, malah keburu dibalut sama kain putih.
Papah, jangan pergi, Nisa butuh Papah.

Aku berlari, tak peduli dengan panggilan keluargaku. Aku ambruk, topanganku sudah pergi.

Aku berlari, tak sanggup menerima kenyataan, bagaimana aku bisa hidup tanpa topanganku?

Aku berlari, menerobos hujan yang sangat deras. Aku tidak peduli jika nantinya aku sakit, aku ... aku ingin lari, jika bisa, aku ingin lari mengejar Papah, meski itu akan percuma.

"Kenapa? Kenapa Tuhan tega sama Nisa? Kenapa Tuhan ambil Papah Nisa? Nisa udah berdoa, biar Papah cepat sembuh, ta-tapi kenapa Tuhan tetap ambil Papah? Tuhan gak sayang, yah, sama Nisa, hiks?"

"Papah bohong! Mana katanya mau selalu ada di sisi Nisa, selalu ngerangkul Nisa? Papah ... Nisa emang bandel, tapi jangan pergi, tolong."

Aku sangat kacau, kacau sekali.
Aku tidak peduli dengan sekitar yang mulai menatap heran kepadaku.
Persetan dengan itu, aku memang menyedihkan.

Aku menyebrangi jalan dengan logika yang kosong. Pandanganku memburam, aku tidak peduli, jika aku harus tertabrak atau terseret, yang jelas, aku ingin selalu bersama Papah.

Cahaya terang semakin mendekat, klakson terdengar nyaring di pendengaran, aku ... tidak peduli, jika aku harus mati dengan menyedihkan seperti ini.

Sebuah tangan menarikku ke sisi, entah, aku tidak tahu tangan siapa.

"Eh, Mbak! Kalau nyebrang itu jangan pakai kaki aja, pakai matanya! Dikasih mata, kok, nggak digunain dengan benar!" bentak supir truk itu kepadaku.

"Maaf, yah, Pak." ucap dia—yang tidak aku kenali.

"Mas, kasih tahu pacarnya! Kalau mau mati jangan lewat truk saya, saya yang rugi nanti."

"Iya, Pak, maaf." ucap dia lagi.

Aku tetap menunduk, mencerna apa yang baru saja terjadi. Apa aku sudah gila? Jika iya, yasudah ... tidak apa-apa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang