Aku mengamati saat Dean tersenyum membalas sapaan beberapa orang gadis yang "say hi" padanya. Senyuman itu membawaku kembali pada masa-masa saat aku memujanya dulu. Aku pernah sangat jatuh cinta pada senyuman dan tawanya yang menurutku tulus.

"Sheira, awas!!"

Teriakan Dean membuyarkan lamunanku. Aku mengikuti pandangan matanya yang menunjuk lubang perbaikan jalan di depanku. Tapi terlambat, aku tidak sempat menghindari lubang itu, dan akhirnya aku jatuh ke dalamnya.

"Aw!"

"Kau tidak apa-apa?" Dean mengulurkan tangannya padaku. Kuraih tangannya, ia membantuku berdiri dan keluar dari lubang yang untungnya tidak dalam itu. Beberapa bagian bajuku kotor terkena tanah. Telapak tanganku pun memerah akibat lecet karena saat jatuh aku menahan beban badanku.

"Trims," kataku padanya.

"Kita lanjutkan atau tidak?" tanya Dean, ia terlihat mencemaskanku, sedikit mungkin.

"Yeah," jawabku, sambil membersihkan kedua telapak tanganku dari tanah yang menempel. Aku bersiap mengikuti Dean yang sudah berlari lebih dulu. Saat itulah aku merasakan sakit yang luar biasa saat menggerakkan kaki kananku. Saking sakitnya, air mataku sampai keluar menggenangi pelupuk mataku. Aku terduduk memegangi pergelangan kaki kananku yang mulai membengkak sambil memekik kesakitan.

Dean yang semula sudah berlari agak jauh dariku, segera berbalik arah dan berlari cepat menyusulku, "Biar kulihat." Ia berjongkok di dekatku, matanya menelusuri pergelangan kakiku. Entah kepercayaan diriku yang terlalu tinggi, atau mungkin aku hanya salah mengartikan. Tapi, selintas aku melihat sorot penuh cemas dari matanya tadi.

***

Dean menurunkanku di atas sofa di ruang TV rumahku. Olahraga pagi hari ini berakhir hanya dalam kurun waktu kurang dari 30 menit karena kakiku yang terkilir. Ah, seharusnya aku tidak menuruti ajakannya tadi.

"Awww! Bisakah kau pelankan sedikit pijatanmu?!" Aku membentak Dean. Dia sedang memijat pergalangan kaki kananku yang terkilir. Sialnya, alih-alih memelankan pijatannya, ia justru memijatnya lebih keras. Hampir saja lidahku tergigit saking sakitnya.

"Hei! Kau sengaja?" Aku meneriakinya tanpa sungkan, bahkan aku juga memelototinya.

"Kau manis sekali kalau sedang marah." Dean menggodaku--bukan--dia meledekku. Ledekannya memicu tanganku bergerak membentuk kepalan tinju guna menjitak kepalanya. Sayangnya sebelum niat itu terlaksana, ia berdiri. "Dimana kau taruh kotak P3K-mu?" tanyanya, sembari mengukir senyum di bibir tipisnya yang selalu jadi bahan perbincangan para gadis di sekolahku.

"Ada di dapur, di dekat lemari," jawabku tanpa membalas pandangannya.

Dean melesat mengikuti instruksiku dan segera kembali dengan membawa kotak P3K. Dean menepis saat tanganku bergerak ke atas untuk menggapai kotak P3K, "Aku bertanggung jawab untuk ini." ujarnya.

Aku mencibir, "terserah kau saja." Kemudian kupalingkan wajahku darinya yang mulai membalut kakiku dengan perban. Aku bisa merasakan bagaimana gerakan tangannya yang membalut kakiku dengan lembut dan sangat hati-hati. Mungkin aku harus sedikit mengakui-meski tak ingin-kalau Dean memang seorang yang serba bisa. Aku nyaris melontarkan pujian untuknya, sebelum tiba-tiba D ean menepuk kakiku usai dibalut.

"Aw!" Aku merintih. Aku tahu dia sengaja melakukannya!

"Sepertinya untuk beberapa hari ke depan, kau akan kesulitan berjalan." ujar Dean. Laki-laki genit itu duduk di bawah, punggungnya menempel ke kaki sofa tempatku duduk. Ia menyalakan TV.

"Benarkah? Ahh..bagaimana dengan pekerjaan dan sekolahku? Dasar sial!" sungutku kesal. Ini benar-benar gawat! Tapi, bisa saja aku memakai tongkat kan? Rasanya aku masih menyimpan tongkat bekas Papa dulu sewaktu kecelakaan.

"Tak usah pikirkan yang lain, kau memang harus istirahat." Dean menimpali, pandangannya masih lurus ke depan, menonton TV. Entah acara apa yang dia lihat. "Oh iya, jangan coba-coba nekat menggunakan tongkat," tambahnya lagi, seakan dia bisa membaca pikiranku tadi.

"Memangnya kenapa? Tidak mungkin aku mangkir dari pekerjaan dan sekolahku." Aku protes. Sejak kapan dia kuperbolehkan untuk mengaturku?

Dean menoleh, "Bisakah kau menurutiku kali ini? Soal pekerjaanmu biar aku yang gantikan sampai kau sembuh. Dan aku yakin, otak sepertimu tidak akan jadi bodoh walau tidak bersekolah beberapa hari."

Aku tercengang mendengar pernyataan Dean yang ingin menggantikan pekerjaanku, "Hei! Kau pikir itu persoalan mudah? Lagipula aku tidak yakin kau bisa seenaknya menggantikanku seperti itu."

Dean memiringkan posisi duduknya menghadap ke arahku, "Itu bukan masalah. Anggap saja aku menebus kesalahanku karena mengajakmu berolahraga, sampai kakimu jadi seperti ini," katanya, santai. Kalimatnya barusan benar-benar membuatku kehilangan kata-kata. Berdebat dengan Dean bukan ide yang bagus. Entah kenapa aku pasti kalah.

"Tapi, jangan salahkan aku kalau kau benaran jatuh cinta padaku nantinya," lanjutnya. Sontak aku memandanginya dengan tatapan permusuhan.

"Percaya dirimu itu semakin lama semakin memuakkan!" Aku sedikit membentaknya.

Dean berdiri, "Sudahlah. Lebih baik kau cepat-cepat mencari cara untuk menantangku balik. Sebelum kau benar-benar kalah." dan tanpa takut, ia membungkuk lalu mengecup pipiku.

"Deaaaannn!!!!!!" Aku melemparinya dengan bantal sofa.

"Kau tak boleh marah, Sheira. Taruhan kita secara tak langsung mengikat kita berdua menjadi sepasang kekasih," ucapnya, tangannya dengan tangkas menangkap bantal yang kulempar, lalu melemparnya balik padaku. "Untuk sementara waktu." Dean menyelesaikan kalimatnya, sembari berjalan mundur menuju pintu.

"Aku pulang. Akan segera kuhubungi saat aku sampai di rumah."

"Tidak usah!" Aku meneriakinya.

Dean membuka pintu, "Oh, kau lebih suka bertemu langsung denganku daripada via telepon?" Itu adalah kalimat perpisahannya sebelum aku sempat meneriakinya lagi.

Love Game [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now