Aku melemparkan pandangan maafku padanya, lalu cepat-cepat memakai apron. Saat itulah Elle datang menghampiriku. Ia membantuku menaruh tas dan map ke dalam ruang staff. Aku membisikkan kata "terima kasih" padanya sebelum berjalan cepat menuju pantry.

"Antar ini ke ruang VIP!" Manajer menyerahkan nampan berisi makanan dan minuman pesanan pelanggan untuk kuantarkan. Dengan sigap aku membawanya. Bulan depan adalah genap satu tahun aku bekerja di sini. Cukup lama untuk membuatku terbiasa berjalan cepat sambil membawa nampan yang penuh dengan makanan dan minuman sekaligus.

Ruang VIP adalah ruang paling istimewa di kedai. Bukan makanannya yang dibayar, tapi ruangannya. Tarifnya adalah 50 dollar per-sepuluh menit. Mahal? Tentu.. bahkan sebenarnya, tempatku bekerja ini tidak pantas disebut kedai.

Sesampainya di depan pintu ruang VIP, aku mengetuk pintu, memberi tanda kalau pesanan sudah datang. Musik mengalun keras dari dalam. Aku pun berinisiatif untuk masuk tanpa menunggu jawaban dari mereka karena percuma. Sudah jelas mereka tidak bisa mendengar ketukan pintuku.

"Maaf, pesanan anda dat—"

Aku terpaku menatap pemandangan hebat yang tersaji di depanku. Dua perempuan sedang dicumbu habis-habisan oleh empat laki-laki. Di sisi lain, seorang lelaki asyik berpagut lidah dengan seorang perempuan yang bajunya sudah-ehem-terbuka di sana-sini, dan astagaa....aku kenal siapa lelaki itu!!!!

"Sheira?" Ya, lelaki yang sedang asyik masyuk itu, adalah Dean! Rasanya aneh sekali bertemu dengannya dalam situasi dan tempat yang sedikit absurd. Aku memilih tidak mengacuhkan panggilannya padaku dan segera meletakkan semua pesanan mereka di atas meja tanpa melihat kanan dan kiri. Aku harus cepat-cepat keluar dari ruangan ini. Yang mereka lakukan benar-benar membuatku mual! Apa tidak ada tempat yang lebih layak?!

"Hei! Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?" Dean meraih tanganku, tepat setelah aku meletakkan semua pesanan mereka.

Aku menepis tangannya, "Aku sedang sibuk, kau urus saja pacar-pacarmu."

Dean mengulas smirk di bibir tipisnya, "Kau cemburu?" Ia maju selangkah demi selangkah, setiap dia maju, aku mundur. Terus begitu hingga akhirnya aku tak bisa lagi mundur. Di belakangku ada tembok, dia menyudutkanku. Saat aku sudah tak bisa lagi bergerak mundur, kedua tangannya terjulur, membuat pagar di sisi kanan dan kiri bahuku.

"Minggir! Aku harus kerja!" Aku membentaknya tanpa melihat dia.

"Apa kau tahu? Ketika kau marah, kau semakin terlihat cantik."

Wajahku terasa panas, aku tahu pipiku sudah merona sekarang. Wahai Dewi Batinku, kenapa kau tidak bisa bekerja sama dengan baik?!

"Lihat? Kau gampang sekali tersipu. Jangan lupa.. siapa yang duluan jatuh cinta, dia yang kalah!"

Aku tak bisa terima tindakannya yang menolak begitu saja proposal dana untuk klub desain yang kupimpin! Bagaimana bisa para pemandu sorak yang tidak pernah menang kejuaraan antara sekolah bisa mencairkan dana klub tanpa halangan apapun? Ah, seharusnya aku tidak heran. Memang begitulah seorang Dean. Tapi demi dewa-dewi langit! Bisakah ia bersikap layaknya seorang ketua siswa yang bijaksana?

"Kau masih tak menyerah rupanya?" tanya Dean saat melihatku memasuki ruangannya.Ia menumpukan dagunya dengan tangan kanannya yang di atas meja. Jemari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja. Aku sedikit terganggu dengan pandangannya yang fokus hanya menatapku.

"Karena dengan cara baik-baik kau tetap keras kepala, jadi kita taruhan saja. Jika kau kalah, kau harus mencairkan dana proposalku."Oh..sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini. Menjalankan rencana Claire bukan ide yang bagus. Tapi mau bagaimana lagi?

Love Game [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now