Aberrant [Ayen]

111 12 9
                                    

abberant, adj
: deviating from the usual

abberant, adj: deviating from the usual

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nanti ambil aksel lagi nggak?"

Aku menoleh pada Ayen yang sedang sibuk menusuk batagor dengan lidi di sebelahku. Dasar pemalas! Bukannya memindahkan batagor bumbu kacang ke piring, Ayen malah makan langsung dari plastiknya. Ckckck!

Kami berdua baru pulang bersama Bunda Ayen setelah melakukan pendaftaran ulang penerimaan masuk SMA. Papa dan Ibu sedang di luar kota, jadi Bunda Ayen menggantikan orangtuaku sebagai wali. Bunda Ayen jelas tidak keberatan. Bukan sekali dua kali sepanjang masaku bersekolah terkadang orang tua Ayen mewakili orang tuaku. Entah itu ikut rapat atau ambil rapor.

"Nggak ah," jawabku akhirnya. "Kamu mau aksel lagi, Yen?"

Jangan sok baper dulu karena aku memanggil Ayen dengan 'kamu'. Biarpun jarang-jarang ada anak Jakarta memanggil temannya dengan 'kamu', Ayen dan aku sudah berteman sejak baru belajar bicara, jadi otomatis kami terbiasa memanggil nama atau 'aku/kamu'. Sudah terlambat untuk diganti saat kami mulai masuk sekolah. Lagipula Ayen juga tidak peduli walaupun seringkali diledek teman-teman satu sekolah.

"Nggak ah." Ayen mengunyah batagor sebelum melanjutkan. "Mau menikmati hidup."

Aku mencibir, tapi Ayen cuma cengengesan sampai lesung pipinya muncul dan matanya seperti bulan sabit. Membuatku teringat pada kartun roti.

Kami berdua duduk di bangku halaman depan rumah Ayen. Dari halaman depan, aku bisa melihat rumah besar di sebelah kiri rumah Ayen. Rumah itu sudah banyak berubah. Lima tahun yang lalu, aku masih tinggal di sana. Tapi, perusahaan Papa butuh uang sehingga rumah itu terpaksa dijual dan keluargaku pindah. Meski aku dan Ayen masih satu sekolah.

Rumah Ayen sendiri sudah banyak direnovasi sampai beberapa bagian menjadi kosan seperti sekarang. Yang tersisa dari masa kecil kami paling hanya mainan usang yang masih disimpan Bunda Ayen.

"Kak Ki!"

Ayen menyapa seorang perempuan mungil yang baru saja membuka pagar kosan. Rambut panjangnya dikuncir rapi dengan kemeja biru dan celana bahan hitam. Pundaknya memakai ransel yang tampak berat dan tangan kanannya membawa kotak yang mirip sekali dengan alat pertukangan. Pasti salah satu mahasiswi yang ngekos di rumah Ayen.

"Hai, Ayen!" balas si Kakak ramah. Ada lesung pipi di sudut kiri mulutnya, meski tidak sejelas lesung pipi Ayen. Matanya melirikku, kemudian menarik-turunkan alis penuh arti. "Eh, siapa ini?"

"Ini Winta," kata Ayen menarikku lebih maju untuk diperkenalkan.

Sumpah, deh, sekejap tadi aku merasa bisa melihat perubahan ekspresi di wajah Kak Ki. Semacam ekspresi pemahaman aneh yang tidak bisa kujelaskan. Tidak kentara karena Kak Ki langsung tersenyum lagi.

"Halo, Kak," sapaku kikuk.

"Hai, Winta."

Tuh 'kan, caranya mengucapkan namaku juga seakan penuh makna.

Ayen dan Kak Ki mengobrol atau lebih tepatnya Ayen yang seperti melaporkan kronologis pendaftaran ulang masuk SMA tadi. Kak Ki mendengarkan dan sesekali memberi komentar sebelum akhirnya pamit. "Kakak masuk dulu ya? Enjoy your time."

Enjoy your time?

Memangnya aku dan Ayen kelihatan seperti sedang pesiar?!

"Itu Kak Ki yang itu?" tanyaku setelah punggung Kak Ki menghilang di balik pintu masuk kosan.

Ayen mengangguk dengan antusias. "Iya, itu Kak Kirana yang jadi guru les privat aku. Cakep kan orangnya? Baik lagi. Terus pinter. Calon dokter gigi lho."

Wow, biasanya Ayen jarang sekali memuji orang lain. Pasti ada sesuatu yang beda.

"Yen ... kamu ... naksir Kak Ki ya?"

Tuduhanku barusan bukannya tidak berdasar. Selama kami SMP, Ayen sama sekali tidak pernah pacaran. Padahal banyak sekali teman-temanku yang perempuan jelas-jelas naksir Ayen. Yeah, meskipun aku tidak bisa melihat kelebihan Ayen di mana.

Wajar kan kalau ternyata Ayen memang tidak mau pacaran karena diam-diam dia naksir Kakak yang sudah kuliah?!

Ayen malah ketawa. "Ta... Ta... Mikirnya kejauhan, hahahaha." Dia terpingkal-pingkal hampir tersedak batagor. "Enggaklah, Ta. Kak Ki udah kayak kakak sendiri. Justru aku mau jodohin Kak Ki sama Bang Chris. Kayaknya cocok. Aku mah tipenya beda."

Kalau Bang Chris alias Christopher, aku sudah tahu. Abang ini salah satu penghuni kosan yang juga disayang Ayen seperti abangnya sendiri.

Haduh, aku jadi malu sendiri karena berpikiran terlalu jauh. Tapi, belakangan ini aku memang memikirkan hal-hal remeh seperti pacar. Sejak sadar bahwa kami akan masuk SMA dan mustahil Ayen bakal menjomblo saja.

"Kamu punya tipe cewek, Yen?!"

"Punyalah!" balas Ayen sewot, lalu mulai mengurutkan satu per satau. "Yang kalau butuh bantuan, nggak sungkan minta bantuan aku. Yang suka ngajak jalan duluan. Yang ngeluh sepi kalau nggak diajak pergi."

Hmm ... terdengar familiar. Apakah salah satu teman kami ada yang seperti deskripsi Ayen barusan ya?

Ah, apa pun itu kelihatannya memang aku harus bilang pada Ayen. Sebelum persahabatan kami sirna begitu saja setelah Ayen punya pacar.

"Kalau kamu mau nembak cewek pas kita masuk SMA, bilang-bilang dulu ya, Yen. Setidaknya biar aku siap-siap dulu."

Pembicaraan ini jelas bukan pembicaraan normal di antara teman sejak kecil. Bukan juga jenis topik biasa yang aku bicarakan bersama Ayen. Entah bagaimana topik soal lawan jenis selalu tidak pernah kami bahas.

Tampaknya Ayen juga merasakan situasi yang tidak biasa ini. Dia membuang bungkus plastik batagor yang sudah habis, lalu kembali duduk di sebelahku dengan dahi mengernyit.

"Aku yang mau nembak cewek, kenapa malah kamu yang siap-siap, Ta?"

Dasar tidak peka!

Aku berdecak, tapi tetap menjelaskan. "Aku juga perlu siap-siap, dong! Biar entar nggak cari-cari kamu mulu kalau butuh sesuatu. Biar punya teman main lain yang langsung 'hayuk, gaslah'. Biar nggak sepi-sepi amat kalau kamu nge-date. Aku nggak mau jadi nyamuk ya!"

Eh, tunggu!

Kenapa rasanya seperti deja vu?

Tapi Ayen sudah protes duluan. "Kan ... aku yang pacaran, malah kamu yang ribet."

Ya mau bagaimana lagi. Butuh setidaknya dua orang untuk disebut pertemanan. Aku kan juga tidak mau ditinggal sendiri dan memasukkan siapa pun calon pacar Ayen ke dalam pertemanan kami juga tampaknya bukan prospek menyenangkan. Ribet sih, tapi ...

Ayen membuyarkan pikiranku karena tiba-tiba dia menatapku serius sekali seolah sudah mendapatkan pemecahan masalah yang disebutnya ribet barusan.

"Aku ada ide."

"Apa?"

"Biar nggak usah ribet, kamu aja yang jadi pacarnya, gimana, Ta?"

Jantungku langsung berdegup kencang.

Astaga!

Ini sih benar-benar abnormal!

















an. Christopher dan Kirana yang nguping langsung terharu karena Ayen udah besar wkwkwk
Tenaaang, ini ceritanya sebelum Chris pertukaran ke Aussie dan Kirana belum kenal Damar kok. Ayen masih behelan wkwkwk

Selamat ulang tahun Dek Ayen Sayaang. Semoga bahagia selalu bayi rotikuuu ❤❤
#HappyINday
#MaknaeINonTop :)
Semoga suka kalian suka yaa
-Ki

MiscellaneousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang