Dia yang Aku Jaga Dalam Doa

4 2 0
                                    

Part 2. Dia yang Aku Jaga Dalam Doa

Daun gugur pun juga demi kebaikan sang pohon. Mengurangi beban yang di tanggung di musim kemarau, rela gugur untuk kelangsungan hidup sang pohon.

***

Gemuruh dalam dada kian menjadi. Aku memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi saja. Mata mulai memanas, ternyata hati belum sepenuhnya sanggup. Aroma maskulin itu kian dekat, ingin aku lari sekencang mungkin. Kalau perlu pindah ke planet Mars detik ini juga. Sia-sia kaki ini bagai terkena lem, tidak bisa bergerak sedikitpun.

"Mimpimu pasti akan terwujud, Hil! Kagum aku padamu, bisa memiliki kecerdasan imajinasi yang tidak di miliki orang banyak. Meski aku nggak bisa menulis, aku tetap dukung kamu!"

Ucapan yang tak pernah aku lupakan. Darinya semangat itu bangkit, aku semakin mengembangkan bakat menulisku. Dan bisa menerbitkan dua novel solo, dan satu novel duet dengan kakak senior. Waktu aku kuliah dulu, dan kini dua tahun aku vacum. Menulis hanya untuk membuang rasa sepi juga patah hati.

Mengingat itu hatiku semakin perih. Ingin aku berhenti menulis, agar bisa lupa segalanya. Namun, aku salah dia seperti hobiku. Semakin menjauh semakin membuat aku tersiksa. Sudah saatnya aku berdamai dengan hatiku sendiri.

"Maaf ... Ning Hilya, ambil minumnya sudah?"

Aku terperanjat, salah aku salah. Dia sudah jauh untuk aku gapai, dan ada dinding pemisah yang terbangun dengan megah. Juga marwah seorang suami juga gus yang dia jaga. Tenggorokanku tercekat, tak ada satu kata yang mampu aku keluarkan. Bulir bening menetes, cepat-cepat aku menghapusnya.

"Sudah Gus, silahkan ambil minumnya! Saya ke kamar dulu belum salat," jawabku tanpa menoleh kebelakang. Tidak akan sanggup aku melihat wajahnya. Siang malam aku berusaha menghapus semua  jejaknya selama dua tahun ini. Namun, hasilnya nol. Aku tetap kalah pada hatiku, siang malam aku berdoa agar nama Akbar Zamzuri pergi dari ruang hatiku juga pikiran. Dia telah menjadi adik iparku.


"Maaf jika harus formal, Ning! Jika ada waktu ada yang ingin aku sampaikan," ucapnya kembali. Suaranya terdengar samar bagai bisikan karena aku telah menjauh.

Aku semakin cepat memacu langkah kaki. Akbar Zamzuri, nama yang selalu aku sebut dalam doa, yang hanya mampu aku panggil dalam hati. Pria yang  telah mencuri hatiku, singgah selama tiga tahun. Satu hari merubah segalanya, membuktikan sesempurna apa pun rencana manusia tetap kalah dengan takdir Allah.

Air mata jatuh berkali-kali, tubuh sudah kehilangan kekuatan. Dengan sisa-sisa tenaga aku membuka pintu kamar. Menuju kamar mandi. Tubuhku luruh di lantai kamar mandi,  kuputar kran air untuk menyamarkan suara tangisku. Aku belum sepenuhnya berdamai dengan keadaan. Aku kalah dengan kenyataan.

"Daun gugur pun juga demi kebaikan sang pohon. Mengurangi beban yang ditanggung di musim kemarau. Rela gugur demi kelangsungan hidup sang pohon!"

Nasihat Mbah Kakung, saat aku menangis sejadinya-jadinya. Tanpa bisa mengatakan apa yang terjadi.

"Apa pun masalahmu Cah Ayu, itu ujian yang di berikan oleh Allah. Bisa jadi teguran karena telah membuat-Nya murka!"

Aku meluahkan segala rasa. Kukuras habis air mata ini, cukup hari ini aku menangis untuk hal yang sama.

"Hilya, kangen Mbah Kakung," lirihku.

Lama aku menangis, memastikan tidak ada air mata yang jatuh lagi. Sandiwara itu tidak berdosa selama niat baik. Aku putuskan untuk pura-pura bahagia.

"Ning, sampean di dalam?" suara Mba Muji terdengar beberapa kali memanggil dan mengetuk pintu sedikit keras. Apa air kran ini tidak bisa menyamarkan suara tangisku?

Ning, Kapan Nikah? (Telah Terbit) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu