Chapter 2

14 5 0
                                    

"Bagaimana, apa ada pendapat lain?" tanya Amar.

Setelah membersihkan luka di wajahnya, dan istirahat terlebih dahulu. Amar dan dokter yang lainnya memasuki kembali ruangan tersebut. Yang sebelumnya harus di bersihkan dahulu. Karena ada beberapa gelas dan wadah yang terbuat dari kaca terjatuh, akibat terdorong oleh badan Rizki.

"Banyak yang menunjukan ini adalah Caulis, dari beberapa sampel yang kita dapat," jelas dokter Arkan.

"Dan hanya ada dua atau tiga sampel yang menunjukan bahwa ini adalah Radix," imbuh dokter Arkan, sambil memperlihatkan beberapa sampel yang telah dia dapatkan.

"Okeh, ada yang lain?" tanya Amar kepada yang lainnya.

"Dari beberapa laboratorium yang lainnya ada yang menganggap bahwa dia jenis batang dan ada juga jenis akar." jelas salah satu dokter.

"Ada berapa yang mengarah kepada batang dan juga akar?" tanya Hanif.

"Dari laboratorium A sampai dengan D, mereka menyimpulkan bahwa ini adalah Caulis, sedangkan dari laboratorium E dan G saja yang mengatakan ini Radix," jawab dokter tadi.

"Baik, untuk itu sepertinya kita harus melakukan uji klinis juga," ucap Amar.

"Hah, kenapa harus uji klinis juga, ini cuma batang, dokter Amar." Rizki tidak terima, karena harus melakukan uji klinis.

"Benar, kata pak Rizki dokter Amar, sepertinya kita tidak perlu melakukan itu juga," ucap dokter Arkan.

"Tapi, ini memang jalan yang terbaik untuk membutuhkan Simplisia ini golongan yang mana," ucap Amar.

"Jalan yang terbaik tapi, memperlakukan waktu yang tidak sedikit," jawab dokter Arkan.

"Benar, apa yang di katakan dokter Arkan," imbuh Rizki.

"Kita, tidak bisa mempunyai waktu yang lama. Sedangkan di luar sana, semua orang membutuhkan kejelasan dari kita."

"Kalau pun, ada waktu paling lama tiga hari dan itu tidak lebih," jelas dokter Arkan.

"Aku setuju dengan apa yang di jelaskan dokter Arkan." Rizki menjawab apa yang telah di jelaskan oleh dokter Arkan.

Uji klinis adalah eksperimen atau pengamatan yang dilakukan dalam penelitian klinis. Studi penelitian prospektif biomedis atau perilaku pada peserta manusia dirancang untuk menjawab pertanyaan spesifik tentang intervensi biomedis atau perilaku, termasuk perawatan baru (seperti vaksin baru, obat-obatan, pilihan makanan, suplemen makanan, dan peralatan medis) dan intervensi yang dikenal yang memerlukan studi lebih lanjut dan perbandingan. Uji klinis menghasilkan data tentang keamanan dan kemanjuran. Mereka dilakukan hanya setelah mereka menerima persetujuan komite etika / otoritas kesehatan di negara tempat persetujuan terapi.

"Saya akan tetap melakukan uji terhadap Simplisia ini," kekeh Amar.

"Baik terserah dokter Amar, tapi menurut saya itu berlebihan," ucap dokter Arkan.

"Apa yang berlebihan?" tanya Hanif.

"Elah, apaan sih Nif, ikut-ikutan aja," sindir Rizki kepada Hanif.

"Gue nggak ada nanya sama loh, tapi kenapa loh yang sewot," balas Hanif.

"Gue biasa aja dan nggak ada yang sewot deh, perasaan," ucap Rizki.

"Ehm." Suara deheman menghentikan aktivitas percekcokan keduanya.

"Silakan pintu keluarnya sebelah kiri," sambung orang yang tadi berdehem.

"Maaf," ucap Hanif.

"Baik lah, kita lanjutkan. Dan saya mohon tidak ada keributan ataupun pertengkaran apapun. Disini kita sedang diskusi bersama bukan ajang saling berbicara." Suara Amar terdengar sangat tegas memenuhi ruangan tersebut.

"Bila ada yang ingin berkelahi, pintu keluar ada di sebelah kiri," sambung Amar.

Hanif, Rizki dan semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut, seketika terdiam.

Semua orang tahu, bagaimana sifat dan sikap dari dokter muda yang bernama Amar tersebut. Meskipun dia terkenal sangat pintar dan juga teliti, tapi dia juga terkenal keras dan tidak main-main terhadap orang yang salah.

Berbeda dengan dokter Arkan, dia juga pintar dan teliti, namun tidak seperti Amar. Dia termasuk orang yang tidak suka hal-hal yang keras terhadap orang yang salah. Namun sekalinya berbicara dia tidak akan tertandingi.

Entah, pertempuran macam apa lagi yang akan terjadi di antara dokter Amar dan dokter Arkan kali ini. Siapa yang benar dan yang salah? Semuanya hanya ingin masalah ini cepat selesai.

"Apa kau ingin kita bertarung kembali, dokter Amar yang terhormat?" tanya dokter Amar.

"Kau ingin bukti apa lagi?" balas Amar kepada Arkan.

"Kenapa? Bukankah itu yang ingin kau lakukan?" Cercah Arkan kepada Amar.

"Kau ingin kita bertarung lagi, dan kali ini dengan simplisia yang tidak bersalah ini." Amar sepertinya memang masih kekeh mempertahankan pendapatnya.

Begitu pula dengan dokter Arkan. Mereka terlihat arkab, namun sebenarnya banyak sudah pertarungan di antara keduanya.

"Bukti apa lagi, sih?" tanya Rizki menatap kedua dokter muda tersebut.

"Kita, tidak punya waktu banyak, jadi cepat dari lagi tentang simplisia ini." Pertanyaan tidak bermutu Rizki sepertinya memang sengaja di abaikan, namun bukan Rizki jika tidak bertanya lagi.

"Kita jadi uji klinis?" tanya Rizki kembali.

"Jadi."

"Tidak."

Jawab Arkan dan Amar berbeda, yang membuat Rizki semakin bingung.

"Gue, keluar aja, deh, males, permisi," pamit Rizki.

"Jangan, kamu tetap di sini." Cegah Arkan, lalu Rizki berbalik badan dan menghadap ke Arkan.

"Kamu patner saya, apa kamu lupa?" Seolah tahu apa yang ada di pikiran Rizki.

"Baiklah." Pasrah Rizki, yang membuat Amar, Arkan dan Hanif tertawa melihatnya. Karena di dalam ruangan ini tinggal tersisa mereka berempat saja. Yang lain, lebih memilih keluar ruangan ketika mereka melihat adegan di mana Amar dan Arkan saling mempertahankan pendapatnya masing-masing.

"Kita, lanjut besok. Siapa yang akan menang dalam pertempuran kali ini," ucap Amar.

"Baik, lakukan apa yang kau mau dan aku akan melakukan apa yang ku mau," balas Arkan. Dan di balas oleh Amar dengan muka datar, lalu mereka semua keluar dari tempat tersebut.









Bersambung...
Hehe, lanjut chapter beikutnya😄

Akar Atau BatangDonde viven las historias. Descúbrelo ahora