Bab 2

18 0 0
                                    

BAB 2

SOGOKAN

Kamar kosku lumayan luas, ups kamar kami berdua aku dan Nia. Dalam hati, aku membathin, aku dan kakakku tidak akan pernah akur jika berada dalam satu ruangan. Karakter kami berbeda sekali. Kakakku pandai bergaul, sepertinya tidak punya ambisi untuk belajar, extrovert. Sementara aku, tidak pandai berteman, menyukai berlama-lama diam di kamar dan membaca buku persiapan ujian walau ujian masih lama, introvert.

"De, ini buku komik topeng kaca, kamu pasti suka." Ucap Nia siang itu, dia membawa setumpuk komik yang masih asing bagiku. Yeni teman SMA ku memang menyukai komik, dan aku terus terang bingung dengan orang yang suka baca komik, hanya lihat gambar dan membacanya pun seperti tidak beraturan kolom mana yang harus dibaca dulu.

"Banyak banget Ceu. Aku ga suka komik."

"Lihat aja dulu, kamu pasti suka."

Aku mengambil satu komik itu, dan kubuka perlahan. Satu minggu lagi akan di mulai orientasi mahasiswa, seharusnya aku segera membeli barang-barang yang disuruh kakak senior untuk persiapan orientasi.

"Nanti makan siang, Ceu Nia aja yang belikan." Nia senyum-senyum penuh rahasia. Aku menatapnya tak percaya. Untuk jatah satu bulan, Mama hanya menjatah 300 ribu untuk kami masing-masing. Kalau kakakku mentraktir aku makan siang berarti dia punya uang lebih, eh tunggu, rasa iriku muncul.

"Mama ngasih uang lebih ya sama kamu?"

"Enggak." Elak Nia, seperti jadi tidak enak.

"Terus kenapa bisa mentraktir aku makan siang?"

"Kamu mau ga?" Tanyanya kesal. Aku masih menatapnya tak percaya, kupegang komik topeng kaca yang tadi ditawarkan kakakku. Kulihat disampulnya ada stiker kertas putih dengan tulisan 300/hr.

"Lho, ini komik juga bayar? Sewa ?" Tanyaku makin memberondong.

"Udah ah, kamu nih dikasih enak malah ga mau. Aku mau pergi dulu." Nia membetulkan riasan wajahnya yang sudah cantik, dan beranjak ke pintu. Menutupnya dengan sedikit keras.

Jam dinding di kamar kosku sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Walaupun tadi Nia pergi dengan sedikit kasar, tapi dia menjanjikan makan siang untukku, dan aku kuatkan untuk tidak membeli makanan di warung Mba Darmi. Lumayan kan kalau ditraktir, menghemat sepuluh ribu rupiah. Komik topeng kaca pun sudah habis semua aku lalap huruf demi huruf, baris demi baris. Pukul satu siang, Ya Allah perutku bunyi tak karuan berbarengan dengan suara langkah kaki, kutengok kaca jendela. Akhirnya.

"Belum makan kan? Tanya Nia sambil tersenyum. Jika ada orang yang paling mudah memaafkan itu adalah kakakku Nia. Padahal sebelum dia berangkat aku sudah bersikap tak sopan dan tersirat dengan kecemburuanku serta menuduh Mama memberi uang lebih padanya. Tapi aku terlalu egois untuk minta maaf pada kakakku.

"Ini Ceu bawain makan, ada telur dan tahu bacem, enak lho." Ujarnya sambil memberikan bungkusan plastik hitam, segera aku terima dan aku buka kertas nasi yang dilindungi karet berwarna merah itu.

"Lho, ceu ga makan?" tanyaku dengan mulut penuh nasi.

"Udah makan ko, ini ada pepayanya buat cuci mulut." Dia menunjukkan lagi sebungkus kantong plastik. Betapa murah hatinya.

"Nanti kalau sudah makan kamu ikut Ceu ke bawah ya." Ujar Nia. Aku mengangguk saja dan menyelesaikan makanku. Kamar kami berdua terletak di lantai dua. Kostan ini lebih terlihat seperti asrama, ada empat puluh tiga kamar dihuni oleh para perawan. Kalau Kakaku mengajak kebawah, disitu hanya ada taman, dapur dan ruang tamu. Aku tidak banyak bertanya kenapa Kakakku mengajaku ke bawah.

Kakak perempuanku satu-satunya itu dengan sabar menungguiku selesai makan, setelah itu kami ke bawah.

"De, kenalin ini Asrul." Nia megenalkanku pada temannya. Deg, aku langsung tahu maknanya. Kakakku mengenalkan aku pada pacarnya. Kata pacaran merupakan kata yang tabu di keluarga kami, Bapak selalu mewanti wanti semua anaknya, tidak ada yang namanya pacaran. Kalau anak-anak Bapak dan Mama ada yang pacaran maka sudah pasti akan dimarahi habis-habisan. Aku tidak tahu akan semarah apa Bapak, karena anak-anaknya tidak pernah ada yang menentang dan melanggar satu aksi yang dilarang itu yaitu pacaran.

Kutatap lekat-lekat lelaki yang sudah mendobrak aturan keluarga, lebih tepatnya aturan Bapak, Dia tinggi, berkulit sawo matang layaknya orang-orang yang tinggal di negeri yang tepat berada di garis khatulistiwa. Sorot matanya mengatakan kalau dia lelaki yang cerdas dan berprinsip, satu waktu nanti aku akan menyebutnya keras kepala. Jika ditanya tingkat kesukaanku pada teman dekat kakakku yang bernama Asrul ini, maka aku tidak setuju di tingkat delapan puluh persen. Yang dua puluh persen terselamatkan oleh sebungkus nasi untuk makan siangku tadi. 

Perjalanan PanjangWhere stories live. Discover now