Kepingan Cerita yang Belum Usai

2K 221 84
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Nakamoto Yuta meraih salah satu album foto yang ada di dalam rak. Ia membukanya dan langsung disambut dengan foto pernikahannya dengan Marsha hampir empat puluh tahun yang lalu. Yuta menyunggingkan senyum, mengelus foto wanitanya yang terlihat bahagia di hari pernikahan mereka. Album foto itu khusus dibuat oleh Yuta dan Marsha begitu pindah ke rumah yang lama. Berisikan kenangan-kenangan yang menurut mereka paling indah dan berkesan. Meski indah, nyatanya menyisakan duka bagi Yuta yang ditemani sepi.

Sudah hampir sepuluh tahun Marsha meninggalkannya, dan rindu itu masih terus dirasa hingga harus dibayar tuntas secepatnya. Meski kini Yuta tak lagi menangis setiap kali mengingat Marsha, bukan berarti dukanya sudah hilang. Yuta masih sedih karena ingatannya ketika mengantarkan kepergian Marsha begitu membekas dengan jelas. Kenangan terakhir yang begitu menyakitkan dan sulit untuk ia hapus setelah bertahun-tahun berlalu.

“Papi lagi apa?” tanya Tama yang hari ini tengah mengunjunginya.

“Lagi lihat foto-foto yang dulu.”

Tama bergabung dengan Yuta yang tepat sekali tengah melihat fotonya ketika masih kecil. Tama tersenyum kecil ketika melihat fotonya dan foto Yuma yang masih bayi. Waktu sudah berlalu dengan cepat hingga kini Tama serta Yuma sudah sama-sama dewasa. Bahkan Tama saja sudah hampir berusia 40 tahun.

“Tama, boleh Papi minta tolong?”

“Apa, Pi?”

“Tolong keluarin koper kecil yang ada di bagian paling bawah.”

Tama menurut, ia pun berlutut dan membuka rak paling bawah, lalu mengeluarkan koper hitam kecil yang tertera nama Nakamoto Yuta di sana. Koper itu baru Yuta beli dengan desain khusus, dan tentu saja untuk diisi benda yang spesial baginya. Yuta duduk dengan susah payah di atas lantai, membuka koper hitam itu, lalu memasukkan album foto yang ia pegang ke dalamnya. Setelah itu, Yuta kembali menutup kopernya dengan kombinasi angka 177, sesuai tanggal ulang tahun Marsha.

“Tolong simpan ini di gudang bawah, ya. Jangan ada yang buka.”

Tama mengernyit bingung dengan perintah Yuta. “Kenapa, Pi? Ini nggak akan dibuang, ‘kan?”

“Enggaklah, Tama. Papi cuma mau simpan biar nggak terlalu sedih. Kalau misalnya … Papi udah nggak ada, silakan jual rumah ini dengan syarat kopernya jangan sampai ada yang buka. Kamu juga jangan mindahin koper itu, ya.”

Tama tercekat. Ucapan Yuta terlalu mengejutkannya. Ini … bukan tanda lain, ‘kan? Tama sampai tidak sanggup meraih koper yang Yuta tujukan padanya agar bisa segera dipindahkan ke gudang bawah.

“Papi, tolong jangan bilang kayak gitu.”

“Tama, jangan ngerasa asing kalau Papi jadi ngomong kayak gini ke kamu, Nak. Papi udah nggak kuat kayak dulu, dan umur Papi udah berkurang. Bukan nggak mungkin sebentar lagi dipanggil nyusul Mami.”

Ya, Tama tahu itu. Tama pun bisa memahaminya. Namun, dia tidak sanggup jika Yuta harus membahas soal kematian di depannya. Kepergian Marsha masih sangat membekas, dan Tama belum sanggup jika harus mengalami perpisahan lagi dengan Yuta.

“Cuma simpan ini aja, ‘kan?” tanya Tama mengalihkan topik.

“Iya.”

Tanpa banyak bertanya lagi, Tama pun akhirnya pergi ke gudang bawah untuk menyimpan koper hitam sesuai permintaan Yuta. Begitu Tama pergi, Yuta mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, kemudian menghubungi kakak perempuannya—Nakamoto Yuri. Seingat Yuta, sekarang kakaknya tinggal di rumah orang tua mereka dan ada rencana untuk menjual rumah itu yang berada di Osaka. Jika memang jadi, Yuta ingin menyampaikan sesuatu sebelum rumah itu berhasil dijual oleh Yuri.

Onee-chan, apa rumah di Osaka jadi dijual?”

“Kamu tidak mau bertanya kabar aku dulu?”

“Apa kabar, Onee-chan?

“Baik,” jawab Yuri dengan sedikit tawa. “Kenapa kalau rumah itu dijual? Kamu keberatan?”

“Enggak, Onee-chan. Ayah sama Mama memang sempat punya rencana buat jual rumah itu dari dulu. Sebelum jual, boleh aku minta sesuatu?”

“Apa? Jangan yang sulit, ya. Aku sudah sangat tua.”

Onee-chan ingat ada foto istri aku di kamar aku? Boleh tolong simpan foto itu sampai ada yang beli rumahnya? Atau jangan sampai fotonya hilang?”

“Apa foto itu sangat penting?”

Yuta mengangguk. “Penting banget.”

Hening sejenak antara Yuri dan Yuta. Namun, Yuta bisa mendengar suara langkah kaki Yuri yang kemungkinan sedang berjalan menuju kamar. Yuta juga bisa mendengar suara pintu terbuka dan tertutup, yang membuat ia yakin kalau Yuri sedang masuk ke dalam kamarnya.

“Aku menyimpan semua barang kamu di tempat aman. Kamu mau foto istrimu disimpan juga atau bagaimana?”

“Dipajang di meja belajar aku, Onee-chan. Sampai bisa dijual.”

“Rumah ini masih lama dijual, Yuta. Aku baru membuat rencana sepintas saja. Mungkin baru akan dijual oleh cucuku nanti,” ujar Yuri seraya tertawa karena gurauannya sendiri. “Apa tidak sayang jika disimpan saja? Nanti rusak bagaimana?”

“Enggak masalah. Pajang aja kayak biasa, ya. Kasih tahu juga sama anak-anak atau cucu-cucu Onee-chan nanti supaya fotonya terus di situ aja. Nanti aku mau ke Osaka buat meriksa fotonya. Awas kalau sampai hilang.”

Yuta bisa mendengar Yuri berdecak, seolah bingung kenapa permintaan adiknya sudah aneh. Tak hanya Yuri yang merasa aneh, Yuta pun tidak mengerti kenapa dia bisa membuat permintaan konyol menyimpan foto Marsha yang ada di kamarnya. Yuta hanya merasa foto itu memang harus berada di kamarnya, dipajang seperti biasa untuk mengenang Marsha.

Return Where stories live. Discover now