Bagian 11

6.8K 399 4
                                    

Bag 11: "Bersabarlah, segala sesuatu ada waktunya." (Mario Teguh)

Sudah dua puluh menit Alex tampak santai-santai di atas kursi putar mewahnya. Terkadang menatap komputernya tapi tidak ada yang terlintas di kepalanya soal kerjaan. Semuanya sudah beres, begitulah yang ia pikir. Dan untuk pertama kalinya sepanjang ia bekerja, ia tak pernah seringan itu menghadapi pekerjaan.

Apakah seaneh itu? Alex tersenyum simpul seorang diri, bukan gila tapi setiap orang pasti butuh tersenyum untuk diri sendiri, terlebih untuk hal tidak biasa yang tidak akan ditangkap orang.

"Dasar gadis bodoh," gumamnya, memutar kursi sedikit-sedikit dan posisi yang juga jika orang melihat pasti tidak akan percaya. Tubuhnya sedikit melorot, satu kakinya tergantung di kakinya yang lain. Jari-jari tangannya mengelus dagu, menilai.

"Sesemangat apapun dia, tetap saja keluguan yang medarah daging tidak akan bisa disembunyikan."

Dia tersenyum tipis, tak ingin benar-benar terlihat. Berpikir mungkin ada malaikat yang ikut memperhatikannya dan menertawakannya. Kemudian pintu diketuk, Alex tersadar dan menegakan tubuhnya.

"Betapa bodoh," gumamnya pada diri sendiri soal sikapnya itu.

Firda masuk, seperti biasa tampak rapi dan mengagumkan, ia menampakan buku memo yang sudah menjadi bagian dari tangannya. Berdiri didepan Alex seperti prefesionalitas yang menjadi kewajibannya.

"Anda perlu bertemu dengan wartawan dari Nirta Publishing company, dua puluh menit lagi di bawah," dan itulah yang dikatakan Firda dan beberapa yang lain seperti nada memaksa saat Alex hendak menolak. "Ini sudah dijadwal sejak empat hari yang lalu Pak Ben, dan anda setuju." Bahkan Alex tak ingat kapan menyetujui itu, jika dia menerima untuk di wawancarai untuk di korek-korek rahasianya, pasti Alex sudah kehilangan kewarasannya saat itu.

***

"Di umur ke 26 tahun, dengan karier yang sangat memuaskan. Apakah anda sudah berpikir untuk menikah, Pak Ben?" wawancara pribadi dimulai sesaat yang lalu, Alex dihadapkan pada Laki-laki berkaca mata, kurus dan pendek dengan nametag-nya bertulis Andra. dia adalah laki-laki jurnalistik yang mewakili sebuah majalah politik dan bisnis dari Jakarta.

Alex menyimak betul perkataannya, sesaat ia mengernyitkan kening hanya untuk sepersekian detik. Seperti yang dikiranya kemudian, mungkin pertanyaan ini tidak akan soal pekerjaan, tapi lebih pribadi lagi. Tadinya Alex sedang tidak ingin menghadapi orang-orang dengan keingin tahuan membabi buta ini, tapi Firda dengan kemampuan ilmu komunikasinya menyahut, "anda tidak bisa mengisolasi diri Pak Ben, popularitas juga berperan dalam kesuksesan," dan nadanya sedikit menyindir. Lihat? Sekretarisnya pun sedikit demi sedikit sudah kehilangan kesopanannya.

Alex tak pernah suka dengan semacam orang yang tak tahu sopan santun, dalam bayangannya, wartawan berada di baris atas.

"Belum terpikir," jawab Alex singkat.

"Tapi anda pasti punya calon atau kekasih saat ini, kan? Rasanya tidak mungkin jika tidak punya," dia mendahului saat Alex benar-benar hendak berkata tidak punya, "anda adalah laki-laki kaya dan tampan, mudah bagi anda untuk mendapat kekasih yang ada inginkan."

"Itulah kenapa aku memilih untuk tidak memiliki kekasih untuk saat ini." Alex menjawab, dia bahkan mencondongkan tubuhnya, "bagiku punya pasangan adalah prioritas yang kesekian," dan nadanya sedikit sombong.

"Jadi anda belum ingin memiliki pasangan?"

"Sudah kukatan, belum terpikir," jawab ulang Alex.

"Mungkin hanya teman main atau hanya untuk senang-senang?" dan Andra tampak tak menyerah membongkar sedikit saja kehidupan asmara Alex.

Tux & Apron (Watty's 2016)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang