Bagian 20

5.3K 320 4
                                    

Bag 20: "we're all addicted to something that takes the pain away"


Bukan pertama kalinya Alex harus menebalkan muka dihadapan semua orang karena ulah Ginna, hari ini adiknya itu bertingkah lagi dengan mendatangi kantornya dan membawa semua omong kosong itu dihadapan Alex.

"Mama akan langsung mendengarkanmu jika kau yang meminta, ayolah  Kak Alex, izinkan aku, ayolah," dia menghampiri kursi Alex dan duduk di tangan kursi, Alex masih mencoba fokus pada dokumennya, padahal dia ada meeting penting sebentar lagi. "Aku tidak akan meminta yang macam-macam lagi padamu, katakan pada mama, Kak Alex, biarkan aku berlibur dengan teman-temanku. Aku juga tidak tahu apa yang membuat mama melarangku, padahal dia tidak pernah begini, ini karena dia masih marah aku menginap di rumah Dea selama seminggu, tapi apa itu jadi masalah? Coba pikirkan juga, kak, aku tidak salah kan menghabiskan waktu dengan teman-temanku?"

Alex tak menjawab, ia bahkan tak sepenuhnya bisa mengerti apa yang adiknya itu katakan. Dia melirik ke dokumen itu lagi dan dia juga tidak mengerti benar apa yang dia baca. Benar-benar menyebalkan, adik yang menyebalkan, berkali-kali Alex memintanya untuk tidak datang ke kantor di jam kerja, Ginna takkan dengar.

Kali ini dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, menganggurkan dokumen kerjanya. "Kau tahu apa yang akan terjadi padamu jika kau masih disini, sebelum aku benar-benar marah Ginna, pergilah," ucapnya tenang.

Ginna bergoyang diatas kursi dan membuat Alex ikut bergoyang. Ginna tampak merajuk, "tidak mau Kak Alex, telepon mama dan suruh dia mengizinkanku."

Alex menatap tajam ke arah depan, "kau pikir aku akan melakukannya?!" Alex membentak, "selesaikan masalahmu sendiri," katanya dingin.

"Tapi kau kakakku, kan, sudah seharusnya kakak membantu adiknya."

"Benarkah? Kupikir hal normal itu tidak berlaku untuk kita."

"Ayolah, Kak Alex, kau tahu kau kakakku yang paling baik."

"Pujianmu menyentuh sekali, kau bahkan tidak punya kakak lain selain aku," ucap Alex sinis, Ginna terkekeh dan mulai memeluk lengan Alex dan tak melepasnya.

"Pokoknya, Kak Alex harus bantu," paksanya. Alex menghembuskan napasnya. Astaga, dia bisa saja bertindak kekerasan, tapi seumur hidupnya dia tidak pernah melakukannya.

"Baiklah," katanya tak ikhlas, kemudian dengan cepat sesuatu berkelabat di kepalanya. "tapi... Dengan satu syarat."

"Syarat?" Ginna terkekeh geli, "sejak kapan kau sangat perhitungan sampai sebegininya? Tapi, kau tahu, aku suka tantangan," Alex memutar matanya dan mulai menimbang-nimbang sebentar apa dia akan mengatakannya atau tidak, tapi sejujurnya ini juga bisa berarti baik atau sangat buruk. Ia hanya ingin tahu kebenarannya dan Ginna sudah jelas bisa membantunya.

***

Sudah pukul dua belas siang saat Karin keluar dari rumahnya, ia hendak ke rumah Roxi hari itu dan berbincang sedikit dengan temannya. Sudah lama Karin tak curhat apapun pada Roxi, rasanya bisa membuat kepalanya pening jika tidak cepat-cepat mengeluarkan isi pikirannya. Tapi belum sepenuhnya pergi, teleponnya berdering, rasanya Karin dibuat terkejut saat melihat nama Salsa muncul di layar hapenya.

"Hallo, Karin," suara Salsa terdengar pertama kali Karin mengangkat telepon. Karin tertegun, suaranya serak seperti habis menangis.

"Salsa? Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

"Kar.. Ak-aku... Bisakah kita bertemu?"

Yang ada di pikiran Karin adalah Salsa yang dulu. Mereka tidak pernah punya hubungan sebaik dulu setelah memutuskan untuk melanjutkan kuliah dan menyukseskan diri sendiri. Apalagi setelah Salsa punya hubungan dengan Ali, astaga, Karin sendiri yang menjadi saksi hubungan mereka dan kesinisan Salsa pada Karin yang mengira Karin juga orang yang membenci hubungan mereka saat mereka pacaran.

Tux & Apron (Watty's 2016)Where stories live. Discover now