BAB 24

232K 14.6K 412
                                    

.: Aku Bukan Badut :.

Tidak ada yang menarik di sore ini menurut Jati. Karena kegiatan laki-laki itu hanya berputar seperti biasanya yaitu sekolah, belajar dan bersosialisasi.

Clarissa sendiri belum pulang semenjak pagi tadi pergi bersama Weni. Jati yang sendiri di rumah akhirnya memutuskan menuju dapur untuk makan siang. Menikmati sajian yang ada di meja makannya tanpa protes atau mengeluh. Menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya sebagai asupan nutrsi tubuhnya.

Lima belas menit kemudian, Jati meletakkan piringnya ke tempat cucian, lalu bergegas ke kamarnya usai makan untuk nengistirahatkan badan dan pikirannya yang mulai merasa lelah akan kegiatannya akhir-akhir ini. Belum lama ia memejamkan matanya, ponsel yang selama ini menjadi alat komunikasinya berbunyi. Sebuah nama muncul yang sebenarnya sangat enggan untuk dia terima.

Nama Clara tertera di sana dan Jati benar-benar malas mengagkat panggilan itu. Namun, sudah panggilan ketiga ia tidak menjawabnya, nomor itu terus masuk, berusaha agar dirinya mau mengangkat panggilannya.

Dengan rasa enggan, Jati menerima panggilan itu. Ponsel yang semula berada di atas meja sudah bergerak menempel ke telinganya. Tanpa basa-basi, Jati menanyakan apa maksud dari panggilan Clara tetapi tidak ada suara sahutan dari sebrang sana.

"Clara?" panggil Jati mencoba untuk mempertanyakan keadaan Clara di sebrang sana. Clara terus saja diam. Namun, panggilan itu tetap tersambung meski tidak ada suara sama sekali.

"Clara?" Jati mencoba membuat Clara bersuara sampai dia kesal sendiri dan mengeluarkan sebuah ancaman.

"Jika tidak penting, akan aku putus sambungan ini!" ujarnya dengan penuh penekanan.

Clara yang berada di ujung sana terus saja menggigit bibirnya. Patah demi patahan kata keluar yang terdengar jelas di telinga Jati.

"Aku mencintaimu."

"Tapi kenapa kamu harus menikah dengan Clarissa?"

"Aku sayang kamu, Kak Jati."

"Seharusnya aku yang bersamamu."

Sambungan itu langsung terputus karena dimatikan oleh Clara. Sedangkan Jati langsung terduduk di kursi meja belajarnya dengan ponsel yang masih berada di genggamannya. Jati mengutuk di dalam hatinya mengapa Clara harus mengatakan hal seperti itu.

Dia tahu tanpa Clara harus berkata. Tapi batinnya bertanya mengapa Clara mempertanyakan dia menikah dengan Clarissa yang sudah jelas itu semua karena ulah dirinya sendiri.

Jati tidak habis pikir apa yang ada di pikiran gadis itu. Setelah membuat kekacauan di hidupnya, dia meminta untuk dialah yang berada di kehidupannya. Dengan semua fakta ini, mana mungkin Jati mau? Dia akan merasa lebih terpuruk jikalau Clara yang bersamanya. Gadis licik yang penuh dengan tipu muslihat.

*

Senyum mengembang di bibir Clarissa bersama dengan Weni mengiringi langkah riangnya yang bergerak masuk ke dalam rumah. Binar bahagia tak lepas dari tatapannya yang membuat Weni ikut bahagia.

lKamu senang, Clarissa?" tanya Weni ketika mereka duduk bersama di sofa depan televisi.

Clarissa mengangguk. "Aku sangat senang sekali, Ma. Terima kasih sudah memberikan pengalaman yang luar biasa untukku." Weni ikut tersenyum sembari mengelus rambut Clarissa dengan penuh kasih sayang.

"Mama mandi dulu, ya. Gerah."

Weni bangkit dari duduknya. Meninggalkan Clarissa seorang diri yang masih tersenyum merasa bahagia dengan pengalamannya tadi.

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang