BAB 27

189K 14K 615
                                    

.: Berbalik Arah :.

Pergantian matahari dan bulan di sore hari menemani perguliran waktu yang terasa begitu cepat seperti kehamilang Clarissa yang kini telah menginjak minggu ke-28. Perut yang dulu rata, perlahan-lahan menggembung hingga sangat nampak bahwa ada nyawa lain di dalam sana.

Clarissa yang saat ini mengenakan daster batik berwarna merah bata memandangi perutnya. Mengusap perut itu, membisikkan doa-doa yang kelak berguna untuk kesehatan serta kehidupan anaknya.

Gelas yang tadi ia letakkan kini kembali ia ambil untuk ditegak. Menghabiskan sisa susu hamil itu lalu meletakkannya di tempat cucian. Menyempatkan untuk menyuci gelasnya kemudian kembali ke dalam kamarnya.

Selama liburan setelah Ujian Nasional, Jati menyempatkan diri untuk bekerja paruh waktu di sebuah distro pakaian sebagai seorang pegawai biasa yang membantu mencarikan pakaian serta sepatu. Distro itu sendiri berada di salah satu kawasan yang dekat perguruan tinggi dimana memang sengaja membuka pegawai part time pada masa liburan ini.

Jati sendiri sengaja menolak tawaran orangtuanya untuk bekerja di rumah makan milik papanya saat verkata akan bekerja dan memilih untuk berusaha dari awal. Baik Banyu maupun Weni memakluminya, menerima keputusan Jati. Begitu juga dengan Clarissa yang ikut menyetujui keputusan yang Jati anggap baik.

Clarissa sendiri masih sibuk mengajar hingga bulan Juni kemarin dimana sebagai akhir dari semester genap. Selama itu juga, Clarissa sepenuh hati mengabdi dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya dengan penuh suka cita. Dan di saat libur seperti ini, dia hanya di rumah atau mampir ke rumah mamanya untuk berkunjung menemui mamanya atau Bi Min. Tidak Clara. Bukan karena Clarissa tidak mau menemuinya, akan tetapi dia sendiri selama kunjungannya yang hampir 3 kali itu, dia tidak pernah melihat batang hidung adiknya.

Suara ketukan pintu berhasil membuat Clarissa bangkit dari tidurnya, membukakan pintu kamarnya yang tidak terkunci. Saat pintu terbuka, Jati sudah berdiri di depan kamarnya bersama sebuah senyuman cerah meski Clarissa tahu Jati lelah sehabis bekerja.

"Aku membawa sesuatu. Mungkin kamu mau?" tanya Jati yang masih saja seperti biasanya. Meski hampir 6 bulan lebih bersama, sikap Jati dan Clarissa tetap sama. Tidak bergerak maju dengan cepat atau mundur. Masih kaku dan malu-malu walau ada perubahan sedikit dari cara Jati yang memulainya dengan semakin luwes mulai dari mengawali segala percakapan atau segala kegiatan bersama mereka dengan lebih baik.

"Kamu bawa apa?" tanya Clarissa antusias.

Clarissa sudah bukan perempuan penakut di beberapa kesempatan. Perempuan itu sudah mampu menancarkan sinar bahagianya dan berani menimpali percakapan saat bersama Jati dengan baik.

"Makanan kesukaanmu," balas Jati sembari mengacak rambut Clarissa pelan. Setelahnya, tanpa rasa canggung, Jati menggenggam tangan perempuannya, membawa Clarissa bersama menuju ruang makan.

Di meja makan, sudah tersedia dua porsi jagung serut yang memang menjadi makanan kesukaan Clarissa akhir-akhir ini. Keduanya makan bersama.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Clarissa memulai pembicaraan. Perkembangan lain yang terkadang membuat Weni serta Bayu tersenyum melihat dua anaknya itu. Merasa bahwa mereka mulai saling melengkapi dan mengisi satu sama lain.

Jati tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Clarissa. "Semuanya masih tetap baik dan hari ini pengunjung yang datang lebih ramai. Kamu baik-baik saja di rumah?"

Clarissa menyendokkan jagung serut dengan taburan keju serta susu kental manis berwarna putih itu sembari menganggukkan kepalanya.

"Hari ini aku menghabiskan waktuku untuk membaca buku yang Mama belikan dan iseng-iseng mencari nama untuk bayiku," ujar Clarissa memelan saat mengucapkan 'bayiku'.

Bukan karena dia tidak suka atau malu untuk mengakuinya, tetapi dia takut mengusik diri Jati yang selama ini Clarissa anggap masih tidak menerimanya.

Meski Jati berkata bahwa dia mau mengakuinya dan tidak menolak seperti awal yang cukup menyakitkan untuk Clarissa. Tetapi Clarissa masih tetap berpikir dalam kediamannya selama ini bahwa semua itu keterpaksaan. Jati tidak mau anak di dalam perutnya memiliki nasib seperti dirinya maupun Jati karena selama hampir 7 bulan kandungannya, Jati hanya pernah sekali menemaninya ke dokter dan sisanya hanya Weni yang menemani.

Selama itu juga, Jati sangat jarang menyinggung mengenai janin yang makin hari kian tumbuh dan berkembang menjadi sodok makhluk hidup yang bukan hanya seongok gumpalan darah.

Bahkan sekadar 'bagaimana keadaan bayi kita hari ini?' Jati jarang mempertanyakan atau bahkan tidak sama sekali. Hal ini yang menjadi sebuah beban di benak Clarissa namun ia simpan sendiri. Dan saat Jati bertanya seperti ini, dia hanya bisa menjawab bahwa itu bayiku. Bukan bayi kita karena sekali lagi, dia takut Jati tidak suka. Terbukti saat ini dengan tatapan Jati yang tadinya biasa saja serta rileks, berubah menegang dengan kedua matanya menyipit menatap Clarissa menyelidik.

"Apa maksudmu?" tanya Jati menghentikan suapan jagung serut miliknya. Tangan yang sudah tidak lagi memegang sendok, melainkan berada di atas meja dengan pandangan lurus pada sosok di hadapannya kecewa.

"Aku tidak bermaksud apa-apa." Clarissa ikut menatap Jati bingung. Dia merasa tidak ada yang membingungkan dari jawabannya.

"Apa maksudmu dengan bayiku, Clarissa?" tanya Jati dengan suara datarnya yang benar-benar tidak ingin Clarissa dengar lagi. Suara yang dulu menyambutnya kala ia meminta sebuah pertanggungjawaban dari seorang Argajati.

Clarissa menundukkan kepalanya, berkata dengan pelan, "Bukankah dia memang bayiku? Kamu tidak menyukainya, kan?"

Kata-kata itu menyulut kompor yang siap diledakkan. Jati memanas atas apa yang diucapkan oleh perempuan di hadapannya. Sosok yang selama ini dia anggap paham bahwa diamnya selama ini bukan berarti tidak menerima.

"Jadi ... itu yang selama ini kamu pikirkan, Clarissa?" Jati mendengus pada akhir kalimatnya, melirik sinis perempuan yang menganggapnya serendah itu meski dia tahu bahwa dirinya benar-benar rendah jika mengingat sikap awalnya yang benar-benar buruk.

"Aku memang pernah tidak menerima bayimu, Clarissa. Aku memang pernah tidak mempercayaimu. Tetapi bukan berarti aku akan terus tidak menerimanya setelah mengetahui faktanya. Realitanya! Bahkan kalau kamu ingin tahu, aku sudah lupa jika pernah berniat untuk melakukan tes DNA pada bayi yang ada di perutmu, Clarissa. Kamu benar-benar membuatku terlihat seperti orang jahat yang tidak tahu diri."

Hati Clarissa serasa tersambar petir. Perkataan Jati bukan lagi dingin atau menyakiti hatinya. Tapi membuatnya merasa bersalah karena berprasangka buruk pada sosok di hadapannya. "Aku minta maaf," kata Clarissa yang sudah tidak lagi bernafsu pada jagung serutnya dan mulai menangis kembali.

"Kamu sudah berjanji untuk tidak menangis lagi, Clarissa."

"Aku minta maaf, Jati. Maaf karena sudah berprasangka buruk sama kamu."

"Kamu tahu kenapa aku berniat untuk bekerja paruh waktu? Aku ingin berusaha membahagiakan kamu dengan jerih payahku sendiri, Clarissa. Aku mau kamu tersenyum. Aku mau kamu tahu kalau aku bersungguh-sungguh. Aku mau kamu menemaniku membeli perlengkapan bayimu setelah aku berhasil mendapatkan upahku. Tapi ... terima kasih, kamu menghancurkan anganku."

Jati menceritakan apa motivasinya dalam bekerja sesungguhnya. Dia mengungkapkan segalanya membuat Clarissa semakin memupuk bersalah.

"Aku minta maaf."

Jati bangkit dari duduknya, berjalan menjauh meninggalkan seorang Clarissa yang masih menangis di meja makan seorang diri. Clarissa yang benar-benar menyesal memilih untuk tidak mengejar Jati. Membiarkan sosok itu berlalu dari hadapannya.

Dan pertengkaran ini, adalah pertengkaran pertama mereka yang berhasil membuat keduanya sama-sama terluka. Kembali mengorek sebuah luka bahwa kejadian ini pernah mereka lalui namun dengan posisi yang berbalik.

01 JULI 2017

maaf lama. semoga masih bersedia membaca meski konflik nggak seperti yang kalian harapkan huhu. maaf kalau membosankan. :( sekali lagi tysm buat yg udh bacaa <3

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang