BAB 10

2.1K 262 81
                                    

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

"Hati tak pernah selalu bisa menerima kenyataan, tetapi mata selalu menunjukkan apa yang tak ingin dilihat oleh manusia. Namun pahamilah, Allah mengetahui apa yang baik dan buruk untuk hambanya."

~Istanbul, Turki~

23:30 PM

Kerlap kerlip cahaya lampu malam memadati sepanjang jalan menuju simpang tiga ke arah tujuan yang berbeda; menuju kota tua, pusat perbelanjaan, hunian apartemen dan juga flat khusus para pelajar dari negara-negara asia, termasuk Indonesia yang mendominasi.

Malam itu Kota Istanbul sedang merayakan independence day yang kesekian puluhan tahun, hampir seluruh pendatang juga kewarganegaraan Turki yang berkependudukan kurang lebih lima belas juta jiwa meneriakkan semangat juang Turki yang telah bebas dari penjajahan. Lantunan musik timur juga milli muzik (musik nasional Turki) menggemparkan malam yang jauh berbeda dari malam seperti biasanya.

Inayah dan Raline menyusuri jalan setapak. Iya, mereka hanya berdua saja menghabiskan malam di luar dari jam kuliah. Hari ini kampus diliburkan oleh karena pihak dari universitas turut serta memperingati hari kemerdekaan Turki. Konon ini terjadi di setiap tahunnya. Pelajar berkebangsaan asli Turki maupun asing diliburkan secara massal, tanpa terkecuali.

Ini tahun pertama Inayah dan Raline memperingati ulang tahun kemerdekaan Turki. Bagi Raline sendiri sebagai alumni pesantren tidak begitu antusias karena adanya sedikit penyimpangan kebudayaan dari Turki khususnya Istanbul yang katanya sekuler. Orang-orang Turki memang dikenal ramah, cara hidupnya menggabungkan tradisi Eropa dan Asia, tapi penampilan, cara berpakaian lebih menyerupai orang Eropa. Bahkan, saat di malam hari pun ada beberapa kelompok yang memanfaatkan situasi untuk menghabiskan sepanjang malam dengan memanjakan tubuh dengan minuman haram, bahkan ada yang berzina dengan bukan mahramnya.

Sepanjang perjalanan, Raline terus mengandeng tangan Inayah di tengah kerumunan orang banyak. Ia merasa tidak cocok dengan suasana seperti ini, hatinya tidak tenang dan perasaannya penuh kecemasan.

"Nay, kita balik saja, yuk. Entah kenapa aku kurang nyaman dengan suasana malam kota," pinta Raline yang menarik-narik tangan Inayah.

"Hah, sekarang?"

"Iyaaa."

"Ta-tapi, aku masih mau-"

"Udah! Nggak usah tapi-tapian, Masih mau jalan-jalan? Besok-besok aja, Nay. Yuk, buru." Wajah Raline menunjukkan kekhawatiran.

Dengan terpaksa Inayah akhirnya menuruti permintaan Raline. Perkara dunia malam perempuan satu ini begitu parno, Inayah sangat memaklumi itu karena latar belakang Raline sebagai anak pesantren masih melekat sampai saat ini. Beda hal dengan Inayah, ia baru-baru saja mendalami agama; perkara baik buruk masih perlu banyak belajar.

Menuju pulang, suasana pada halaman flat sudah begitu sepi. Gerbang telah tertup rapat dan tergembok, security yang berjaga juga sedang tidak di tempat piket oleh karena ikut meliburkan diri pada momentum kemerdekaan ini. Entah para pelajar kebanyakan party di luar atau mengasingkan diri di kamar masing-masing. Malam hampir larut. Untungnya saja Inayah maupun Raline membawa kunci pagar cadangan.

Sebelum masuk, salah satunya Raline menarik kunci dari dalam saku lalu mencoba membuka pagar dengan cepat. Inayah yang berdiri di belakangnya biasa-biasa saja meski keadaan pada flat kelas menengah itu suasannya sangat sepi seperti mencekam. Berbeda dengan apartemen yang ada di lorong sebelah-tidak cukup semenit waktunya dari flat ini menuju apartemen kelas atas tersebut-kondisinya kondusif dan pagarnya sangat memenuhi standar internasional dengan bisa terbuka secara otomatis hanya dengan memakai finger print pada setiap pemilik kamar.

Single Lillah [Single Karena Dia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang