BAB 5

2.8K 334 36
                                    

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

"Bersabarlah, karena Allah pasti sedang menyiapkan sesuatu yang indah kepada hamba-Nya yang berusaha di jalan yang diridhoi-Nya."

~Istanbul, Turki~
12:30 AM

Udara siang hari di sekitar kampus cukup bersahabat, perpindahan dari musim panas menuju musim semi menusuk sukma setiap kepala yang ada di bawahnya sejak pagi tadi. Membuat mahasiswi-mahasiswi program beasiswa pemerintahan dari Indonesia itu menikmatinya dengan penuh bahagia, menyambut bunga tulip yang bermekaran di sepanjang taman kampus yang jumlahnya tak bisa dihitung lagi. Suhu udara tidak begitu dingin, dan tidak begitu panas. Benar-benar suasana pergantian musim yang sesuai harapan banyak orang.

Setelah Inayah menyelesaikan presentasinya pagi tadi yang datang telat oleh karena bangunnya kesiangan, bersama dengan Raline yang juga merupakan penerima beasiswa dari salah satu yayasan pesantren di Indonesia sekaligus teman satu kelompok tugas presentasi mata kuliah ilmu ekonomi perdana di semester ini. Sebenarnya Raline menelepon Inayah pagi tadi namun pada akhirnya Inayah tidak mengangkatnya karena ia tidak sadar kalau handphone-nya silent dari semalaman. Untung saja Raline tidak marah karena ia tahu bahwa Inayah tidak sengaja datang terlambat. Semua terjadi atas seizin Allah.

Kali ini mereka memilih untuk makan siang di restauran indonesian food satu-satunya yang tak jauh tersedia di sekitaran kampus. Raline adalah sahabat Inaya semenjak mereka berada di semester awal, bahkan mereka satu gedung flat hanya saja berbeda tingkatan. Keduanya sudah begitu akrab, bahkan Inayah menjadi seperti sekarang atas bimbingan Raline dengan bekal ilmunya sebagai jebolan pesantren. Walaupun ilmunya belum seberapa dibandingkan santi-santri wati yang sudah senior darinya, tapi hadirnya Raline sebagai teman sejawat Inayah membawa perubahan drastis. Salah satunya menjadi hijaber masa kini di tengah-tengah kota yang tidak asing dengan pakaian yang serba tertutup.

Kearifan masyarakat Turki dalam memperlakukan dan menerima tamu seperti para pelajar dari Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di sebuah negara yang diapit antara dua benua—Eropa dan Asia—, membuat muslimah Indonesia bisa mengekspresikan bebas dirinya dalam menggunakan hijab. Terlebih Inayah yang baru saja beberapa bulan memilih untuk berhijab atas suntikan hadist dan juga bimbingan dari seorang Raline, Inayah sangat perlu banyak belajar dan beradaptasi pada pilihan yang ia jalani sekarang.

"Untung ini kita di Turki, Line. Coba saja kita di Indonesia, pasti hijab kita bakal basah mandi keringat," tegur Inayah saat mereka berdua berjalan melewati salah satu simpang yang menghubungkan restoran indonesian food.

"Ah, nggak juga, kok, Nay. Kalau sudah terbiasa, nggak bakalan kepanasan, kok," dijawab Raline tersenyum meyakinkan Inayah.

Inayah mengangguk paham. "Semua berawal dari terbiasa, yah," selanya langsung saat ia mendorong pintu dan masuk ke dalam restoran yang menjadi tujuannya.

"Iya, dong. Harusss."

Inayah dan Raline jalan begitu cepat, mungkin karena sudah terbiasa kalau merekq ke mana-mana selalu dengan berjalan kaki. Tidak butuh waktu yang lama untuk mereka bisa berkunjung menikmati indahnya pemandangan-pemandangan khususnya masjid Sultan Ahmed yang menyejukkan mata oleh karena warnanya yang membiru muda—mereka menyebutnya The Blue Mosque dalam bahasa umum.

"Berarti aku juga harus terbiasa tanpa dia," ucap Inayah setelah keduanya duduk di salah satu meja kosong berdampingan dengan dinding transparan yang memperlihatkan sebagian rutinitas Istanbul dari jalan raya oleh para pejalan-pejalan kaki.

"Maksudmu, tanpa Rifly? Iyi misin (kamu baik-baik saja)? Kalian sudah lama tidak bersama. Dan kamu masih memikirkannya?!" Raline menggelengkan kepala.

Wajah Inayah ditekuk, seperti hatinya masih penuh kebimbangan. Bukankah sudah jelas bahwa pikirannya akan benar-benar pergi dari situasi dirinya saat ini? Semakin ia larut maka semakin besar pula resiko kegalauan dan kerinduan yang dirasakan. Raline hanya bisa terlihat pasrah. Berbagai nasihat telah ia hatur-kan pada Inayah. Namun jika dikaitkan dengan perasaan pernah jatuh cinta pada seseorang untuk pertama kali, maka tidak salah jika Inayah belum juga bisa menutup hati pada Rifly.

"Uzgunum (maaf), kali ini aku tidak bisa memberimu solusi. Karena bagaimana pun juga, kamu mau balik ke Indonesia untuk melepas rindumu padanya tidak akan bisa. Aku selalu ingat pesan Abah-ku, Nay. Abah pernah bilang kayak gini, "Tak penting bagaimana kamu merindukan abah nanti di kampung orang, Abah nggak peduli. Kalau Eneng rindu Abah, silakan banyak-banyak bersabar dan berdoa. Doakan abah dari jauh, lepaskan kerinduan Eneng pada Abah dengan cara mendoakan Abah, yah, Neng." Gitu kata Abah. Intinya kalau kamu merindukan seseorang dan kamu sudah memilih untuk tidak menghubungi, maka adukan keresehan dan kegelisahanmu itu pada Allah, Nay. Sebut namanya melalui doa, bukan melalui keluh kesah," jelas Raline menyemangati hati Inayah.

Untuk hati yang dimiliki Inayah, begitu rentan terbawa ke dalam perasaan yang berlebihan tapi baginya itu normal karena bagaimana pun juga kodrat manusia adalah jatuh cinta tapi yang salah ketika melakukan pengharapan bukan atas Allah tapi yang menghamba. Begitu sulit jalan yang Inayah tempuh sekarang. Tiga tahun lebih ia memendamnya dan sudah setahun lebih ia mengutarakan dan takdir ternyata tidak bisa merpertemukanya lagi dengan Rifly.

Inayah berusaha tersenyum yang sangat bertentangan dengan kondisi hatinya saat ini. Innallaha ma ashobirin, "Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar." Kata-kata tersebut terus saja membatin dalam diri Inayah hingga senyumnya mengalir kemudian dengan penuh keikhlasan.

"Tesekkur ederim, (Terima kasih), Raline."

Raline tersenyum lebar. "Memnuniyetle (kembali kasih), Ukhti."

Dari lubuk hati terdalam, Raline yang hampir setahun merasakan hidup bersama dengan Inayah tak ingin membuat sahabatnya itu terus-terusan bersedih oleh karena Rifly. Dengan cara menasehatinya mungkin akan membuat Inayah sedikit lega. Namun ada kalanya, Raline kekeh untuk membuat Inayah membuka mata bahwa apa yang diharapkannya adalah ketidakpastian yang berujung pada kekecewaan.

Mungkin bukan waktu yang tepat sekarang. Keduanya lagi dalam situasi di tempat umum. Setelah bercengkrama perihal hati, mereka kemudian lanjut untuk memesan makanan khas betawi serta masakan Padang yang kali ini akan membawa Inayah dan Raline melepas kerinduan kuliner Indonesia. Hanya dengan cara memenuhi selera lidah mereka yang masih susah meninggalkan masakan lokal, ia bisa merasakan kehangatan negeri meski raga jauh dari bumi pertiwi.

***

To be continued ....

Bismillah, kemarin saya tidak update BAB 5 ya karena ada udzur yang ana sudah jelaskan ke antum sekalian melalui status wattpad kemarin. Afwan akhi/ukhti fillah sekalian.

Jadi baca bab 5 dulu hari ini atau juga sekalian bab 6? Silakan komen yaaa. Syukron.

Jangan lupa tap love 💕 🌝🙏🏻

Single Lillah [Single Karena Dia]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz