Enam

951 78 15
                                    


Gadis itu tidur, disebelahnya. Devian terkekeh. Dia lucu, dan Devian cukup bangga ketika wanita itu mengatai ia tampan.

Yah, dia tidak akan menyangkal, toh sudah banyak yang mengatakan hal itu padanya.

"Anggita." Devian memanggil lembut. Mengguncang bahu gadis itu pelan. Dia belum benar-benar tertidur rupanya, gadis itu membuka matanya dan menatap Devian dengan cemberut. 

"Dimana Rumahmu?" Devian jelas tidak akan membawa gadis itu ke hotel lagi. Dia waras, ok!

Maksudnya, gadis itu mabuk, dia tidak akan sadar apa yang akan ia lakukan. Dan Devian adalah pria dewasa. Siapa yang tahu setan mana yang akan menggodanya didalam kamar hotel itu nanti.

Dia waras, titik.

Anggita berguman menyebutkan alamatnya, masih menatap Devian dengan tatapan menghakiminya.

"Aku berbuat salah?" Devian terkekeh. Tetap fokus pada jalan didepannya.

"Ya, salah. Kau salah karena muncul di hadapanku dengan kesempurnaan itu. Kenapa?!!!"

Devian tertawa cukup lebar, mengacak rambut gadis itu. Ah, dia lucu.

"Jadi maksudmu adalah aku salah karena menjadi sempurna  dan muncul di hadapanmu?"

"Tidak, tidak salah. Kalau kau tidak muncul entah bagaimana aku mengahadapi Naufal, penghianat itu melukaiku. Bagaimana bisa ia memilih wanita itu dibandingkan aku yang sudah bertahun-tahun bersamanya."

Ah, gadis yang patah hati. Devian tidak akan lupa tentang hal itu.

"Kau!" Anggita menunjuknya, menatapnya tajam.

"Kau tidak paham, bukan? Kau tidak mungkin pernah patah hati." bersedekap, Anggita menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi.

"Aku? Tentu saja pernah. Mungkin aku merasakannya lebih dulu dari mu." Devian menggeleng. Dia benar-benar mabuk, pembicaran mereka tidak jelas.

Memasuki perumahan, Anggita menunjuk sebuah rumah. Rumah yang minimalis, tampak nyaman.

"Kau yakin ini rumahmu?" Devian menatap rumah itu, dia tentu saja harus hati-hati. Wanita itu mabuk, dan ya dia seorang wanita. Bagaimana kalau dia hanya asal menunjuk kemudian masuk kerumah orang sembarangan.

Anggita menyengir, kemudian terkekeh sendiri. "Kau baik sekali, terimakasih Devian yang tampan."

Gadis itu membuka pintu, berjalan dengan kaki yang bergetar. Menggeleng Devian ikut keluar, malah gadis itu membantunya berjalan.

Anggita menekan bel beberapa kali.

Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya muncul dan menatap terkejut kearah Anggita yang mabuk.

"Ohh, Astaga Anggita." Mata wanita tidak beralih, ia pikir putrinya tadi pergi bersama Cameron.

"Terimakasih, mau mampir dulu?" Dia ibu nya Anggita, Devian masih ingat pernah melihat wanita itu beberapa kali saat SMA dulu.

"Tidak usah Tante, saya langsung pulang saja." Devian tersenyum sopan, hawanya hangat.

Masuk kedalam, sang ibu membawa Anggita naik kamarnya.

"Dia siapa?" Levina menatap putrinya memincing.

"Engh, teman SMA. Juga rekan bisnis perusahaan tempat ku kerja. Dia kaya." Anggita terkekeh sendiri, melemparkan tubuhnya sendiri ke tempat tidur.

"Ya, dia juga tampan. Cammy membicarakan ketampannya sepanjang hari." Levina menggeleng, putrinya selalu banyak bicara saat mabuk.

"Ayahmu akan marah jika melihat kau mabuk seperti ini." menarik selimut, wanita itu menyelimuti putrinya yang mabuk itu.

"Ahh, benar. Tidak apa-apa Ayah sudah jarang memarahiku." Anggita terkekeh. pintu kamar itu terbuka lagi, pria paruh baya masuk. Anggita menyengir.

"Aaahh, Ayahh. Aku mau di omeli tapi tidak sekarang juga." Sang Ayah menggeleng.

"Demi Tuhan Anggita! Kau itu wanita bagaimana kau bisa mabuk seperti ini." Dia khawatir, tentu saja. Putrinya sudah sedewasa ini namum masih saja sembrono. Bagaimana kalau ada pria jahat yang mencelakainya, putrinya ini cantik.

"Kepalaku sakit." wajah Anggita merengut, Anggita memeluk pinggang ibunya.

"Jangan keluar sampai aku tidur."

Ayahnya menghela nafas, duduk disamping istrinya. Mengelus rambut putrinya.

"Ayah menyayangimu." Anggita terkekeh.

"Aku lebih lebih lebih menyayangi kalian berdua."

( ̄~ ̄;)

Kepalanya sakit, Anggita tetap berusaha bangkit, ia perlu pergi ke kamar mandi. Terhuyung-huyung gadis itu masuk kedalam kamar mandi. Oh, dia terlalu banyak minum.

Kamarnya gelap, begitu keluar dari kamar mandi Anggita terusik oleh suara ribut diluar sana. Firasat gadis itu tidak enak.

Melangkah pelan, Anggita membuka pintu kamar, tubuh gadis itu bergetar. Matanya menatap kosong, dilantai dengan darah bersimbah dilantai, itu orang tuanya.

"Ah, ada satu orang lagi ~~"

Tubuh wanita itu bergetar, tubuhnya kaku. Membeku seolah kakinya tertanam.

Pisau besar ditangan salah seorang pria besar disana bersimbah darah, menggeleng Anggita bergerak dengan tubuh bergetar masuk kembali kedalam kamarnya gadis itu buru-buru mencuci pintu.

Otaknya kosong, nafasnya berderu. Dja harus apa, dia panik.

Pintu rumah digedor kasar.
"Nona cantik, ah apa kau mengundang kami ke kamarmu?"

Anggita tidak bisakah berpikir normal, gadis itu kalut. Suara pintu yang digedor membuat gadis itu semakin tertekan. Kepalanya sakit. Mendekati jendela, wanita itu frustasi jendela di tralis besi.

Memegang lampu kamar gadis itu menatap pintu yang tampak akan hancur sebentar lagi.

Begitu pintu itu terbuka empat pria terlihat dengan senyum menjijikan mereka.

"Menjauh! Menjauh!" Wanita itu mengayunkan lampu tidurnya kedepan.

Dia ditertawai, dengan tubuh kecil itu memangnya dia bisa apa? Pria-pria itu maju, mendekat dengan gerakan pasti.

"Ah, cantik sekali. Kita bersenang senang sedikit ya?" Air mata wanita itu meluruh.  Tubuhnya terguncang, bergerak maju Anggita menyerang dengan brutal.

Lampu itu mengenai kepala salah satu pria disana, jelas saja langsung dipaksa dengan tinjauan kuat pada wajahnya, Anggita terlempar dilantai, tubuh gadis itu lemas.

Tawa pria-pria itu seolah bergemah dikamarnya yang gelap, Bajunya dicabik, dingin lantai menyengat kulitnya, hidupnya hancur?

Malam penuh derita itu dimulai, Anggita tidak dapat mengingat berapa kali dia pingsan, tubuhnya digilir, tubuh hancur. Tawa dan desahan pria pria itu bagai alunan neraka.

Mata wanita itu kosong, tenaganya menghilang, menatap bulan melewati jendela dengan kosong.

Tidak ada apapun disana, didalam pikiran kepala kecil itu tidak ada satupun hal yang melintas.

Namun malam terburukpun pasti akan berlalu.

Tubuhnya telanjangnya ditinggalkan begitu saja. Tergeletak tidak berdaya dilantai.

Suara jangkrik malam terdengar jelas, tawa-tawa bahagia itu terdengar meninggalkan tubuhnya.

"Tidak dibunuh sekalian?"

Mata tajam itu menatap Anggita dengan senyum dingin.

"Tidak perlu, nanti juga bunuh diri sendiri. "

Matanya berat, tubunnya lelah, otaknya tidak mampu memikirkan apapun. Mata coklat terang gadis itu meredup.


Yap, cerita ini emang dimulai dengan tragedi manteman.

She Is AnggitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang