Perdebatan

22 4 0
                                    

Setelah menjalani berbagai perawatan aku diperbolehkan pulang dengan syarat yang begitu ketat. Makan harus dijaga. Tidak boleh lembur bekerja terlalu malam. Dan tidak diperkenankan diet terlebih dahulu. Akupun pulang ke kota kelahiranku untuk proses pemulihan, Semarang.

"Ayah, aku ini sebenarnya sakit apa sih Yah? Aku rindu suasana kantor dan teman-teman di kantor. Kapan aku bisa kembali ke kantor, yah? Lagipula kemarin aku cuti sakit kan, jadi tidak mungkin dipecat," tanyaku kepada ayah di suatu sore.

"Tar, kamu hanya sakit. Kamu tidak perlu tau sakit apa. Yang penting sekarang kamu fokus kepada penyembuhanmu. Ayah ibu akan berusaha keras untuk itu. jadi ayo bekerja sama,' Ucap ayah sembari meletakkan kacamatanya.

"Tapi Yah, ini tubuh Tari. Tari juga harus tau kondisiku sendiri. Bagaimana aku bisa bekerja sama dengan ayah ibu kalau Tari sendiri tidak tau," aku sedikit memprotes jawaban ayah.

"Ayah hanya tidak mau kamu kepikiran. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, tidak lebih," ucap ayah dengan mata berbinar.

"Yah ! Aku hanya ingin tau ayah. Agar aku bisa menjaga diriku sendiri nantinya. Aku ingin kembali ke Jakarta lagi Yah. Banyak mimpi yang belum Tari capai. Tari juga tidak mau merepotkan ayah dan ibu. Tari ingin mandiri.

Perselisihan kami berdua berujung pada adu argumen. Ibuku datang dari ruang tamu langsung memeluk tubuhku.

"Cukup, Yah. Sudah cukup. Saatnya kita memberi tahu Tari. Dia juga berhak atas dirinya sendiri," kata ibuku sembari menangis dalam dekapan.

Akhirnya kami bertiga menangis tanpa tau penyebabnya. Ibu menuntunku duduk di ruang tamu dan ayah mengikuti langkahku.

"Tar, ini adalah patah hati sesungguhnya yang pernah ayah rasakan dalam hidup ayah."

"Apa, Yah? Cepat beri tahu.

"Kamu sakit, sakit yang serius. Dan ayah rasa, saat ini adalah saat yang tepat untukmu menunda mimpi-mimpimu itu. Istirahatlah sejenak. Tolong kali ini menurut pada Ayah."

Akupun semakin bingung dengan kalimat ayah. Dan masih belum mengerti terhadap apa yang sedang terjadi.

"Kamu sakit Meningitis," ayah mengucapkan kalimat itu disertai air yang turun membasahi pipinya.

Seketika hatiku hancur berkeping-keping. Seperti ada petir menyambar tubuh ini. seolah tak percaya dengan semua yang terjadi. Tubuhku lemas seketika jatuh dipelukan ibuku yang sedari tadi menangis tanpa henti. Selama ini kepalaku sering sakit luar biasa dan aku susah mengingat beberapa orang. Ditambah pula aku juga menjadi tidak menyukai cahaya karena akan membuat kepalaku sakit. Jadi semua yang kurasakan selama ini karena aku menderita Meningitis?

Aku anak satu-satunya dan akulah harapan bapak ibu. Kenapa aku malah diberikan sakit semacam ini? Seketika aku menganggap kehidupan ini tidak adil. Di saat aku seharusnya membalas budi kedua orang tuaku, aku malah harus sakit seperti ini. Sungguh sangat tidak adil.

AKU MENTARIWhere stories live. Discover now