quiet - bab 6

2K 279 11
                                    

Kalau dipikir, hidup dengan pola yang sama amat sangat membosankan. Aku sebenarnya kurang mengerti apa tujuan hidupku selain mengikuti perintah orang tua, namun seseorang berkata aku akan menemukan tujuanku ketika beranjak dewasa.

Aku pikir mati adalah tujuan, namun salah. Mati hanya suatu cara agar hidup menyenangkan. Atau bisa kukatakan bahwa ia adalah pengingat bahwa kau punya batas. Aku pernah berpikir untuk mati. Bukan hanya terlintas sekali tetapi setiap aku membuka mata dipagi hari.

Yah, manusia dengan segala pikiran liarnya benar-benar berbahaya.

Aku melihat ke arah jendela, kemacetan di jam-jam pulang sekolah adalah hal yang biasa.

"Woi, Gema!!" tak berapa lama mendengar suara itu, aku melihat perempuan berambut sebahu itu duduk di sampingku. "Sendiri?"

"Satu geng."

"Gas terus. Di rem juga," katanya sambil terkekeh.

Beberapa langkah dari tempat dudukku dan Rista, aku melihat Reni, teman dekat Rista. Gadis itu menoleh ke belakang dan tidak sengaja menatap Rista. Tetapi bukannya menyapa, keduanya memutuskan kontak mata dengan cepat.

Seperti orang asing.

"Reni temen lo, kan?"

Rista mengangguk sambil menyerahkan permen kepadaku. "Wah, gue pikir lo gak tau siapa-siapa!"

Aku memutar bola mata. "Orang pendiam cenderung suka memperhatikan."

Perempuan itu mengangguk lalu membuka bungkus permen itu dan memakannya.

"Kayak orang asing."

"Hah?"

"Lo berdua waktu kelas 10 kan sahabatan."

"Ah itu," Rista menghela napas panjang. Ia menyandarkan badannya di bangku seolah benar-benar lelah. Kemacetan masih bertahan seolah senang memenjarakan semua kendaraan ini. "Gimana ya, mungkin cara pandang gue udah berbeda aja."

"Oh."

"Waktu kelas 10, gue sama dia deket banget. Gue punya banyak temen sih, Gema, tapi gue orangnya agak gimana gitu."

"Gak ngerti."

"Bego."

"Lo sih,"

"Gue orangnya gak ngerti caranya minta tolong. Makanya, kadang kalau ada yang minta tolong sama gue, bahkan yang buat gue repot gue bakalan bantu. Gue bela-belain deh." Ada jeda sebentar sampai akhirnya ia melanjutkan. "Masalahnya sepele sih, Ga, waktu itu gue minta tolong bantuin buat tugas. Cuma dia nolak. Bukan cuma gitu aja, kadang kalau keadaan genting dia jarang bisa dihubungi, waktu adik gue meninggal aja dia ga datang. Makanya, gue pikir ya, untuk apa juga kan temenan sama orang kayak gitu."

"Dia-nya gimana?"

"Si Reni mah baik-baik aja. Cuma gue menarik diri aja, menjauh."

"Tanpa memberi tahu masalahnya?"

Rista mengangguk. "Kadang kalau emang benar benar sahabat gue rasa dia bakalan ngerti salah dia dimana tanpa harus gue bilang."

Aku tidak membalas setelah itu. Kemudian Rista kembali bertanya.

"Menurut lo gimana?"

"Apanya?"

"Gue sama Reni."

"Seandainya emang lo pikir lo gak cocok temenan sama dia, lo gak perlu sebenarnya sampai menjauhkan diri dari dia. Semakin kita dewasa semakin malas rasanya mencari musuh. Gak perlu dijauhi apalagi dimusuhi karena dampaknya juga temen lo berkurang satu, bersikap biasa aja sebagai teman biasa bukan sebagai sahabat. Lo juga pasti lebih ngerti dia dan ketidakpeduliaannya. Menurut gue pribadi sih begitu."

Rista tertawa tidak berapa lama kemudian. "Lo emang paling bisa buat orang lain bungkam ya?"

"Lagian saling diam dan gak berkomunikasi juga dosa kan?" tanyaku dengan santai yang disambut gelak tawa oleh Rista. Receh sekali hidupmu, Rista.

***

quietTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon