quiet - bab 2

6.2K 897 45
                                    

Katanya, aku galak. Selalu senang melihat orang takut padaku.

Aku yakin Rista yang berkata begitu pada orang lain. Padahal tidak, aku hanya berkata singkat dengan dingin, apa itu disebut galak? Rista saja yang berlebihan.

Dasar kompor.

"Lihat dong, Gema, gue lebih berani daripada lo yang cuma bisa diem-diem bae kayak gak dikasih kopi. Ini tuh namanya gue selangkah lebih maju daripada lo!" serunya padaku, berniat menyindir dan membanggakan dirinya.

Aku tidak menanggapi, rasanya menanggapi omongan sampah sama saja membuang-buang waktu berhargaku. Biarkan saja mulutnya lelah sendiri.

Untuk kamu yang sering disindir, diremehkan dan diejek, let them be. Hidup kita ini terlalu berharga untuk mengurus hidup orang lain, karena waktu yang kita punya terlalu singkat untuk diri kita sendiri.

Aku tau Rista ingin menarik perhatianku.

Aku pede?

Tidak. Hanya saja rasanya aneh ketika seseorang terlalu memperdulikan apa yang kau lakukan dan terus menerus mengomentarinya.

Ngomong-ngomong, aku belum memperkenalkan diri sangking asiknya memberitahu seberapa menyebalkan seorang Rista dimataku.

Namaku Gema Ardiansyah, seorang introvert yang amat suka buku tetapi bukan berarti cupu.

Entah kesialan apa hari ini, guru seniku, memberikan tugas. Tugas yang berhubungan dengan seni tentunya, ya kali, berhubungan dengan virus.

"Frista sama Gema ya."

Dalam absen, nama Rista adalah Frista Zafira. Aku akui bahwa nama itu terlalu cantik untuk seseorang yang jelek seperti Rista.

Secantik apapun perempuan kalau perkataannya tidak bermakna, itu sudah jelek dimataku. Walaupun wajahnya melebihi cantiknya Kendall Jenner.

"Lah Bu, ya kali sama patung? Ganti dong Bu!" Perempuan itu protes.

Aku mengabaikan saja. Yang penting aku mendapatkan partner untuk tugasku.

Bu Mega, guru Seni, menggelengkan kepalanya, tanda membantah permintaan cabe liar itu.

Tugasnya mudah, kami disuruh membuat cover lagu dengan menggunakan salah satu alat musik, terserah satu atau dua, yang terpenting ada yang bernyanyi.

Setelah guru Seni itu keluar, Frista, dengan wajah yang tidak senang dan bibir mirip seperti bebek menghampiriku.

"Heran gue, kenapa sih harus lo? Ahela."

Aku mengangkat bahuku.

"Jadi gimana nih? Mau nyanyiin lagu apa?"

Aku diam, berpikir. Namun sayang, diamku malah dianggap sesuatu yang berbeda oleh perempuan itu.

"Suka banget kacangin orang, heran gue."

Padahal kan aku sedang berpikir.

"Kapan latihan?" ia mengganti pertanyaan. "Eh, Mad, lu ga ke kantin? Gue mau diskusi dulu nih."

Ahmad, teman semejaku yang sedang menyalin PR menggelengkan kepala. "Entar, ye, Nyonya, gue ngerjain PR dulu."

"Tempat gue aja." kata Rista.

Ahmad menghela napas, membawa buku yang sedang diconteknya ke meja Frista. Dan sekarang gantian manusia cerewet itu duduk di tempat Ahmad.

"Lo belom jawab pertanyaan gue tuh."

"Terserah." jawabku singkat.

"Lagunya gue yang pilih ya?"

"Nanti kasih tau gue dulu."

"Lo nanti pakai alat musik apa?"

"Gitar."

"Oh, kita latihan dimana ya?"

"Dikelas aja."

"Hm, lempeng amat lu kek papan. Bisa gak sih lentur gitu, enjoy, kenapa sih jawabnya singkat banget?" tanyanya dengan nada kesal.

"Karena itu yang harus dijawab?" sebelah alisku terangkat.

Rista mendesah kesal. "Ya tapi gue kan temen lu juga, gitu. Masa jadinya kayak interview."

Aku mengangkat bahu tidak peduli.

Bagiku, mulutku ini cukup untuk mengatakan hal yang diperlukan. Karena jauh lebih baik banyak berpikir daripada berbicara.

Namun fakta yang kutemukan dari orang-orang sekitarku, mereka lebih suka berbicara tanpa berpikir. Because speak without thinking is bullshit. []

***

quietTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang