SEMBILAN

40.1K 891 3
                                    

        Sania merebahkan tubuhnya di ranjang hotel itu. Udara dari AC yang mengalir sejuk menentramkan hatinya. Untuk sementara Sania ingin melupakan kemelut rumah tangganya. Sementara Nik belum berani menjamah wanita yang menjadi atasannya langsung. Ia takut menyinggung perasaan Sania. Soalnya ia belum tahu, mengapa Sania tiba-tiba mengajaknya keluar. Mengajaknya kencan. Padahal selama ini dengan halus ia selalu menolak. Adakah kemelut rumah tangga, yang membuat Sania begitu? 

        "Kenapa diam saja Nik, duduklah disini...!" 

        "Aku takut...." 

        "Apa yang kau takutkan?" 

        "Ibu atasanku, nanti dikira aku kurang ajar...!" 

        "Apakah disini kita akan membicarakan pekerjaan Nik?" 

        "Tidak..." 

        "Nah, kenapa takut?" 

        "Aku harus panggil apa?" 

        "Sebetulnya usiaku lebih muda, kan? Cuman usia kerjaku lebih lama. Dulu aku kerja sambil kuliah. Juga seperti kau. Hanya saja aku merasa cocok dengan Irene, sehingga jabatanku cepat naik..." 

        "Kalian bersahabat, ya?" 

        "Yah, sejak aku belum menikah..." 

        "Kulihat tadi kau murung terus. Seperti ada sesuatu yang membuatmu sedih. Kau tak keberatan menceritakannya padaku?" 

        "Apakah kau bisa memegang teguh rahasia ini?" 

        "Tentu saja, kalau perlu tak seorang pun boleh tahu kalau kita bertemu disini. Bagaimana pun aku tahu, ibu atasanku. Kita tak boleh ada affair, kan? Meskipun pada kenyataanya jatuh hati sejak pandangan pertama. Selama ini aku hanya bisa mengkhayal, hanya bisa bermimpi, dan berharap keajaiban itu muncul diantara kita. Aku bersedih karena kau sudah punya keluarga...." 

        "Benarkah Nik, kau jatuh hati padaku?" 

    "Ya, sejak pertama kali aku melihatmu. Itulah sebabnya aku hanya bisa merenung. Bagai pungguk merindukan rembulan saja..." 

        "Ah, jangan bicara begitu Nik. Kalau saja aku belum berkeluarga, sudah sejak awal kurasakan tatapan mesramu. Sayang, ada sekat pemisah diantara kita, yaitu aku sudah berumah tangga..." 

        "Itulah yang membuatku sedih....!" 

        "Tapi kau tak bertepuk sebelah tangan. Sesungguhnya aku juga merasakan hal yang sama. Merasakan hal yang menggetarkan itu. Tapi apa daya. Apakah kau mengerti maksudku? Rumah tanggaku jadi penyekat!" 

        "Ya, aku tahu..." 

        "Tapi hari ini aku ingin melupakan tentang rumah tanggaku..." 

        "Kenapa?" 

        "Sulit untuk mengatakannya..." 

        "Apakah itu yang membuatmu sedih?" 

        "Terus terang begitu..." 

        "Ada persoalan?" 

        "Terlalu dalam persoalannya..." 

        "Boleh kutahu?" 

        "Apakah kau percaya?" 

        "Sejak pertama aku memandangmu, aku percaya kamu. Kukira kau dapat jabatan tinggi itu, karena Irene juga percaya padamu. Nah, kenapa aku tak percaya? Katakanlah...!" 

Gairah... Istri PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang