TUJUH

44.6K 902 2
                                    

        Sania tertunduk lesu. Tak ada gairah bekerja. Ika yang memperhatikan sejak pertama kali datang ke kantor, hingga mereka makan siang di kantin bank itu, merasa aneh. Ia menepuk bahu Sania. 

        "Kau sakit, San?" tanya Ika. 

        Sania menggeleng. 

        Ia sakit? Mungkin, tetapi bukan tubuhnya, melainkan hatinya. Hatinya sakit, karena untuk pertama kalinya ia merasa dikhianati suami. 

        "Lau ada apa? Kulihat hari ini kau tak bergairah. Suamimu sudah pulang dari Bandung?" tanya Ika lagi. 

        "Mungkin aku akan menuntut cerai saja...." 

        "Cerai?" 

        "Kau benar Ika, suamiku pembohong. Ia tak ada di Bandung...!" 

        "Nah, benar apa yang kukatakan. Bagaimana kau tahu?" 

        "Semalam, setelah telpon kau, aku jalan-jalan. Siapa tahu dapat angin segar. Tapi ketika aku memasuki sebuah mall, membeli slayer ini, aku merasakan angin busuk pengkhianatan suamiku. Kulihat sendiri dengan mata dan kepalaku sendiri, bukan bantuan dari orang lain, dia menggandeng cewek lain. Sialan sekali!" 

        "Lalu?" Ika antusias. Nasibnya kini, tak sendirian ada temannya. 

        "Yah, seperti saranmu, jangan main tembak, kuikuti saja sampai dimana mereka. Ternyata mereka belanja perhiasan. Kau bayangkan, denganku Yoga jarang membelikan perhiasan. Sejak pacaran ia tak pernah lakukan itu. Eh, dengan orang lain, ia berikan beberapa perhiasan. Sebetulnya sih aku enggak iri. Aku bisa beli sendiri yang lebih besar. Tapi yang ini kok kebangetan...." 

        "Terus?" 

        "yah, kaya main petak umpet itu, aku mengintai terus. Sampai mereka pulang. Kuikuti mobilnya. Kutempel dengan jarak yang terjaga. Sampai memasuki sebuah real estate di Bekasi. Dan aku tercengang, ternyata perempuan itu dibelikan rumah di tempat itu...!" 

        "Lelaki tak setia bukan?" 

        "Ya, paling sialan, aku melihat mereka berciuman di ruang depan, dekat televise. Bajingan. Aku memaki-maki sendiri dan menangis dalam mobil. Aku tak tahan ketika mereka memasuki kamar. Kutelpon saja...." 

        "Lalu bagaimana? Kalian perang...!" 

        "Aku hanya menangis, jiwaku teramat sakit. Yang paling menjengkelkan dia mengakui, bahwa dia menikahi cewek itu, karena terlanjur hamil. Ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menikahinya. Kau bayangkan Ika, bagaimana perasaanku saat itu?" 

        "Yeaah, kalau aku sudah kubunuh cewek itu!" 

        "Aku tak bisa begitu, aku hanya pedih dikhianati. Ah, sudahlah. Aku hanya akan menangis saja, Ika. Rasanya hidup ini jadi enggak punya arti lagi. Dulu yang segalanya indah, tiba-tiba menjadi kelabu. Aku jadi mengerti, mengapa kau punya kekasih gelap, mengapa Irene tiba-tiba tak betah dirumah. Mengapa wanita seperti Irene tiba-tiba ingin sekali menyendiri, melepaskan segala beban...!" 

        "Kau tahu, aku pernah merasakan hal yang sama, justru pada awal-awal pernikahanku. Mula-mula aku seperti kamu, suka menangis. Menyendiri dan menyesali. Tapi semua telah terjadi. Tak akan berlaku surut bukan? Nah, lama-lama aku jadi tak perduli. Lama-lama aku jadi ingin mempermainkan lelaki. Itulah sebabnya aku suka ganti-ganti pasangan. Celakanya, kadang justru aku jatuh cinta sendiri. Jadi susah untuk mempermainkan lelaki..." 

Gairah... Istri PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang