Satu

3K 229 20
                                    

Ini mendebarkan, bukankah aku hanya perlu menulis hal ini seperti karangan liburan jaman SD dulu. Dengan senyuman ketika berbagai ingatan itu berputar di otakku. Tentu yang membuatku tersenyum tidak hanya kenangan indah saja. Aku sadar sepenuhnya, kenangan menyedihkan dulu membuat semua menjadi lebih bermakna saat ini.

Saat aku kecil, aku pikir aku adalah orang yang paling beruntung didunia, hidupku berkecukupan, aku bebas menentukan apa yang aku inginkan dan apa yang aku sukai. Aku diberikan kebebasan untuk memilih dan menetukan jalanku.

Aku tumbuh dengan sangat baik, dengan dukungan dan rasa cinta. Namaku Anggita, Anggita Athaisy. Seorang designer usia 23 tahun. Wanita karir, ah, aku menyukai sebutan itu.

🌥🌥🌥

"

Kau dimana?" suara disisi lain telpon itu menyambutnya. Wanita itu tampak dikejar waktu, langkah kakinya cepat.

"Aku sudah dijalan, ini karena kau. Aish, nanti saja aku terlambat." mematikan panggilan suara dari sahabatnya, wanita itu fokus memerhatikan jalannya.

Higheels putih itu menghentak lantai, naik ke lantai dua wanita dengan baju putih itu melirik ponselnya, dia terlambat dua belas menit dari waktu yang dijanjikan. Melangkah turun terburu-buru memasuki kamar mandi.

Merapikan helaian rambutnya didepan cermin besar, Anggita mengeluarkan lipstick merahnya, meratakan pemerah bibir itu, tersenyum didepan kaca memastikan penampilannya sudah lebih baik.

Merapikan gaun putih yang membungkus tubuhnya dengan sangat baik, memastikan tidak ada lekukan atau kusut yang merusak penampilannya. Rambut coklatnya bergelombang.

Dia akan bertemu dengan seseorang yang spesial.

Keluar dengan langkah anggun, Anggita melangkah percaya diri. Matanya berpendar menelusuri isi restourant. Senyum dibibirnya terbit begitu model rambut dengan postur tubuh yang sudah sangat dia hafal tertangkap oleh manik coklatnya.

Melangkah cepat, Anggita mendekat dengan semangat sebelum matanya menangkap sosok lain, dengan gaun hitam, duduk berhadapan dengan sosok yang dikenalnya. Langkah wanita itu berubah pelan.

Wanita cantik itu duduk dengan tegang begitu mata mereka bertemu.

Pria bersetelan jas abu-abu licin itu berbalik, mata mereka bertemu. "Kau sudah datang?"

Tersenyum, Anggita mengangguk. Mendekat dengan dahi berkerut. Wanita itu bangkit, mempersilahkan Anggita duduk dikursi yang ia tempati, berpindah duduk disebelah Naufal, laki-laki berjas abu-abu yang membuat janji dengannya.

"Maaf aku terlambat."

Naufal mengangguk, pria itu tampak tegang. Dan Anggita tahu ini  bukan pertanda baik.

Menatap wanita dengan gaun hitam disampingnya,  Anggita penasaran.

"Jadi, Naufal siapa dia?"

Pria itu berdehem, mengusap rambutnya. Anggita tahu pria itu gugup, bertahun-tahun dekat dengan Naufal membuatnya hafal kebiasaan pria itu. Memejamkan matanya, dia tampak menyiapkan diri.

"Calon istriku." terdiam sejenak, alis Anggita naik.

Hah? Apa?

Memutar matanya, menatap serius kedalam kedua manik coklat Naufal. "Apa lagi ini Naufal? Sungguh kau ingin main-main lagi?"

Berdecak Anggita tampak begitu terganggu.

"Aku-aku minta maaf. Aku tahu ini pasti tidak dapat diterima. Tapi aku benar-benar minta maaf. Aku rasa kita harus, selesai."

Menatap wajah tunangannya, Anggita benar-benar marah saat ini.

"Naufal, kumohon. Kau ini bicara apa? Bulan depan kita akan menikah, hentikan semua ini."

"Aku minta maaf, sungguh. Tapi aku serius. Dia hamil anakku, dan aku harus bertanggung jawab. " rahang Anggita seolah akan jatuh, bibirnya terbuka dengan tidak percaya, matanya membulat.

"Apa? Jelaskan padaku Naufal."

"Ini semua diluar perkiraanku, aku tidak tahu akan seperti aku minta maaf."

Menggigit bibirnya, Anggita tidak pernah menyangka.

"Kau, melalukan itu dengannya, saat masih berhubungan dengan ku?" Naufal mengangguk lemah, tampak raut penyesalan diwajahnya.

"Kenapa?"

"Kau tahu, aku masih muda. Dan terkadang rasa bosan muncul. Aku hanya mencari sedikit hiburan. Aku tidak tahu akan sampai sejauh ini."

"A? Hah?! MUDA!! Itu benar-benar alasanmu Naufal?! Oh, sungguh. Seberengsek apa kau sebenarnya? Saat aku berusaha mempertahankan semua ini. Dan kau malah seperti itu?!"

"Aku minta maaf, karena itulah. Aku rasa semua harus berakhir."

"Khah!! Kau pikir semudah itu. Demi Tuhan, tidak-tidak. Jangan dulu putus. Aku juga masih muda, kau tahu. Biar semua ini impas, aku akan tidur dengan siapapun yang kutemui malam ini kemudian kita putus."

Kali ini Naufal yang membelalakkan matanya, dia masih mencintai Anggita, tentu saja. Semua ini hanya kecelakan, tapi dia sudah cukup menjadi pria brengsek. Kali ini dia harus bertanggung jawab atas semua yang dia lakukan.

"Kau tidak bisa melakukan ini, kau gila!" Naufal kenaikan nada bicaranya, apa gadis ini kehilangan akal? 

Perasaan muak dan terhina membakar Anggita, dia tidak bisa diperlakukan seperti, ini. Dia pikir karena Anggita mencintainya dia bisa seenaknya seperti ini.

MIMPI!!

"Aku gila? Jadi kau apa? Bermain dibelakang ku karena bosan, Naufal kau idiot!"

"Kau tidak bisa melakukan ini Anggita, karena-karena." Naufal kehabisan kata-kata, bingung harus mengatakan apa, dia gila dia yang idiot. Bagaimana cara menjelaskan pada wanita cantik dihadapannya ini kalau dia masih tidak rela melepaskan hubungan mereka.

"Kenapa? Kau bisa menjadi muda dengan alasan sampah, aku juga bisa melakukan itu."

"Kau tidak akan tidur dengan siapapun malam ini. Kau pikir kau akan bertemu dengan siapa? Hah?!"

Memuat matanya Anggita bangun. Matanya berpendar ke sekeliling. Memerhatikan siapa saja.

Melangkah maju, keluar dari mejanya.  Seseorang dengan jas hitam menabrak punggungan. Anggita reflek menarik tangan pria itu, kemarin pria dengan wajah ramah dan bingung itu. Menaikan alis dengan pandangan bertanya, mata hitamnya menyoroti wajah cantik Anggita yang diselimuti dengan emosi.

"Malam ini, ayo tidur dengan ku." kepala pria itu miring, alisnya naik kemudian senyum seringgainya muncul.

"Ok, ayo tidur bersama malam ini."

Pinggang Anggita dirangkul, pria itu menoleh kebelakang, mencari-cari setidaknya alasan mengapa wanita cantik ini bertindak aneh.

Matanya bertemu dengan mata pria lain yang menatap mereka dengan mata membelalak, seorang wanita dengan gaun hitam tampak menunduk dibelakang pria itu.

Devian terkekeh pelan, tersenyum kemudian mengangguk kecil, pamit. Membawa wanita itu keluar dari restaurant dengan senyum tenang.

She Is AnggitaWhere stories live. Discover now