Chapter 2

6.3K 326 42
                                    

Setiap cerita berawal dari pertemuan
Bahkan meskipun itu bukan pertemuan yang menyenangkan

Milly menoleh ke kursi seberang menatap sahabat ayahnya, Om Danu, yang juga adalah wakil direktur perusahaan, yang sedang menikmati sarapan dari istrinya. Karena mereka berangkat petang tadi, tampaknya mereka sudah menyiapkan bekal untuk sarapan di jalan. Milly sendiri, karena sudah terlambat, ia terburu-buru hingga meninggalkan bekal yang sudah disiapkan ibunya.

Milly kembali menatap ke jendela dengan bibir mengerucut kesal. Karena Om Danu bersama istrinya, ia merasa tidak enak jika harus meminta sarapan pada mereka. Yah, ia juga tahu diri. Sementara ia sendiri hanya membawa cokelat, makanan ringan dan soda untuk bekal di jalan. Masalahnya, jika sepagi ini ... untuk sarapan ...

"Makanlah." Suara berat dari sosok yang duduk tepat di sebelah Milly membuatnya menoleh. Tatapan Milly jatuh pada sebungkus roti dan sekotak susu di tangan pria itu.

Sejak Milly naik ke dalam bis dan duduk di sebelahnya, pria itu tak sedikit pun tertarik untuk berbicara pada Milly. Satu-satunya yang Milly tahu tentang pria itu adalah namanya. Ryan. Oh, dan bahwa ia adalah general manager di perusahaan yang selalu membantu ayahnya, sekaligus orang kepercayaan dan karyawan yang selalu dibanggakan ayahnya lebih dari siapa pun juga. Ia bahkan tak tahu jika pria ini tahu caranya bicara.

"Perjalanannya masih jauh dan kita tidak akan berhenti untuk sarapan," lanjut pria itu seraya menjatuhkan roti dan susunya ke pangkuan Milly.

"Aku juga membawa makanan," kata Milly.

"Cokelat? Soda?" Milly bisa mendengar kesinisan dalam suara pria itu. "Aku sudah diperingatkan tentang menu makanmu yang satu itu, dan kurasa itu bukan menu yang baik untuk sarapan sepagi ini," lanjutnya.

Milly menatap pria itu dengan geram. Apa salahnya dengan itu? Ia bahkan mengatakannya dengan sinis. Ia pikir ...

"Berhentilah berpikir terlalu banyak dan makan sajalah." Suara pria itu menyela pikiran Milly.

Milly menahan desisan kesalnya. Pria ini benar-benar sukses membuat Milly tampak begini kekanakan. Milly berdehem sebelum menggumamkan terima kasih, dengan sedikit ketus. Tadinya, ia sama sekali tak menyangka pria itu akan melakukan ini. Mengingat sedari tadi, pria itu bersikap lebih dingin dari hawa pegunungan sekalipun. Namun, melihat cara bicara pria itu pada Milly, sikap dinginnya ternyata masih belum seberapa. Apa pria ini bahkan tahu caranya bersosialisasi tanpa membuat lawan bicaranya marah?

Dam-diam Milly memperhatikan pria itu seraya menyantap sarapannya. Bahkan meskipun ia tampan, dengan wajah maskulin yang akan membuat kaum hawa memujanya, apakah lantas ia berhak bersikap begini dingin dan menyebalkan? Ia pikir, hidung tinggi dan bibir seksi saja memberikan hak pada seseorang untuk bersikap sedingin ini? Oke, Milly mulai melantur, sepertinya.

Namun, karena pria ini adalah Ryan, orang yang sudah banyak membantu ayahnya, Milly akan mencoba menerima sikap dingin dan menyebalkannya ini.

***

"Kita sudah sampai," Suara berat itu menembus kepala Milly, perlahan mengembalikan kesadarannya.

"Di mana?" gumam Milly seraya mengangkat kepalanya, yang baru ia sadari tersandar di bahu Ryan.

"Penginapan," jawab Ryan dingin seraya bangkit dari duduknya, dan tanpa mengatakan apa pun lagi, turun dari bus.

Milly mendengus tak percaya dengan sikap pria itu. Perlahan ia berdiri dan menatap ke kursi-kursi belakang yang sudah kosong. Milly mengerang membayangkan orang-orang melihatnya tertidur di bahu Ryan. Kenapa Ryan tidak membangunkannya dari tadi? Bahkan Om Danu pun sepertinya sudah melupakannya.

Meraih Cintamu (End)Where stories live. Discover now