quiet - bab 1

11.8K 1K 55
                                    

Suara gebrakan itu membuat kelas yang ribut itu mendadak hening. Mataku menatap lurus kedua tangan kecil yang baru saja menggebrak mejaku. Lagi-lagi manusia dengan segala semangat 45-nya yang membuat jijik melihatnya itu kembali memancing ketenanganku. Aku benci merasa terusik.

"Nah ini nih, si Gema aja yang jadi perwakilan kelas kita untuk english day!" katanya dengan berapi-api.

Aku mendongak, melihat perempuan dengan dahi tertutup poni itu meminta persetujuan dari siswa yang lain.

Perlu kuberitahu sosok perempuan yang selalu hindari; Rista. Cewek paling bawel, ribut dengan suara yang amat-teramat jelek, sejelek wajahnya.

Semenjak kedatanganku beberapa bulan yang lalu ke sekolah ini, Rista seolah senang mengganggu zona aman yang ku bangun. Bertindak seolah-olah aku dan dia adalah teman. Ia sok akrab padahal aku sangat risih padanya.

"Enggak." ucapku tenang.

Rista menunjukkan wajah berangnya. Wajah itu membuatku mengingat wajah kucingku yang sedang marah kalau tidak dikasih makan.

"Ya gak bisa gitu dong! Lo kan murid di kelas 11 IPA 2 juga. Jangan maunya tenang aja tanpa ikutan partisipasi!" protesnya dengan kesal, sekali lagi, ia menggebrak mejaku.

Apa telapak tangannya tidak sakit?

"Gue tulis naskah aja."

"Lah-lah!" ia tidak terima, membuatku menatapnya tajam, bukannya perempuan itu menciut malah menatapku dengan tatapan menantang. "Gak bisa gitu! Kita semua dapat giliran, kok. Sayangnya gue udah maju jadi, gak adil dong kalau gue mulu yang mejeng di podium? Bisa-bisa orang muak liat gue. Lagian kan lo pinter Bahasa Inggris, jago malah, ya pastinya ga masalah kan untuk lo?"

Aku bicara satu kalimat, maka Rista akan membalas satu paragraf. Dasar perempuan cerewet.

Ngomong-ngomong, di sekolahku setiap hari Rabu adalah english day. Setiap kelas mendapat giliran untuk menyampaikan pidato dalam bahasa inggris di depan semua murid sekolahku pada saat apel pagi.

Bukannya tidak ingin berpartisipasi, aku hanya tidak bisa berbicara di depan umum dengan lancar. Fakta bahwa aku seorang introvert seharusnya bisa menjelaskan kepada Rista mengapa aku menolak untuk menjadi perwakilan kelas.

Sayangnya, mau dijelaskan sampai mulutku berbusa juga perempuan itu tidak akan mengerti.

Itulah yang membuatku bingung tentang semua orang yang ingin dimengerti tetapi tidak pernah mencoba mengerti orang lain.

"Enggak, Rista. Gue gak mau."

"Alah-alah, lo bilang aja males."

"Bukan, gue gak suka diperhatiin."

Rista memutar bola matanya, memajukan wajahnya sambil menatap mata tajamku. Nampaknya,
Rista adalah tipe manusia kebal yang tidak peka dengan tatapan seorang.

"Ansos sih lu, pantes gak ada teman."

Bibir Rista itu pucat, namun kali ini sangat merah, teramat merah malah, seperti cabe yang gak ada bedanya dengan perempuan itu.

"Gak danta lu, Bambang." tambahnya lagi, membuatku seketika entah mengapa merasa, ingin mencekik leher putihnya itu.

Ada yang aneh dengan perempuan ini. Aku tidak pernah mengomentari apapun tentang dirinya selain dia yang tidak lebih dari cabe-cabean kelas atas karena sekolah di tempat yang elit. Komentar yang hanya aku yang bisa mendengar. Tetapi anehnya, Rista senang mendeskripsikan tentang diriku kepada orang lain, katanya aku; sombong, anti-sosial dan kutu buku.

The thing i never told to everyone is; i'm not anti-social, i'm selectively sosial.

Even if I tell them, I'm pretty sure they think it's arrogant.

Ya, namanya juga manusia.

***

quietWhere stories live. Discover now