3. Teman sekelasku adalah pamanku

362 54 7
                                    


Perkenalkan nama saya Andre, lebih panjangnya ANDREEEEEEEE *PLAK* maksudnya Andre Marco Sanjaya. Anak sulung dari keluarga Sanjay. Umur sebelas(11) tahun, masih kelas enam(6) Sekolah Dasar. Punya empat adik. Dan sepasang orang tua. Udah gitu aja.

Aku bukan ingin membahas tentang orang tua ku yang ... terlihat kekanak-kanakan. Tapi aku akan membahas tentang Pamanku. Paman yang menjadi teman sekelasku. Bukan, bukan karena dia bertahun-tahun gak naik kelas. Jangan menggambarkan dia adalah sosok tinggi dengan perut buncit. Karena kita masih seumuran. Dia adalah adik dari ibu tiriku, Gilang Barnaby Malik.

Setelah Mamah dan Papah memutuskan pindah rumah. Aku memilih tinggal bersama kakek dan nenek baruku, alias Abi dan Umi-nya Gilang. Biar gak sepi aja, biar Gilang ada temannya. Kita selalu berangkat sekolah bersepeda bersama. Bisa di bilang,  aku menggantikan saudara, Mamah Alia. Tapi aku masih sering kok menginap di rumah ortuku.

Meski Gilang turut senang kakaknya menikah dengan Papahku. Dia yang secara otomatis menjadi Paman kami, tidaklah suka. Mungkin dia gengsi. Bahkan meminta kita merahasiakan kebenaran hubungan kekeluargaan itu dari teman-teman sekolah. Ya, kita memang merahasiakannya sampai ...

"Kok bisa sampai bocor sih?!"

"...." Aku hanya tersenyum kecil melihat Gilang heboh sendiri dari tadi.

"KENAPA!!" teriaknya pada langit. Kita sedang berada di atap sekolah, tempat biasa anak-anak main bola. Tapi tenang saja, lapangan cadangan ini di kelilingi pagar besi.

"Lebay banget lo Lang, biasa aja kali." ujarku, melihatnya mirip sekali dengan mamah alias kakaknya. Suka berlebihan.

"Biasa?!" Matanya melotot.

"Oh tidak ... Aku terlalu muda untuk jadi pa—man."

"...." Aku hanya bisa mengeleng, memperhatikan Gilang, berputar-putar seperti puppy yang mengejar ekornya.

"Jangan-jangan Andrea lagi." tebaknya.

"Bukan."

"Mentang-mentang dia adik lo,  jadi lo bela."

"Astagfirullah, bukan gitu." aku menghabiskan sekotak susuku. "Teman kita itu tau dari medsos."

"Medsos?"

"Hn, Mamah sering upload foto kita-kita di facebook."

"...." Gilang dengan cepat menghidupkan smartphone miliknya yang di bawa secara diam-diam.

"...." Aku ikut memperhatikan layar poselnya. Aku tidak membawa ponselku. Sebagai ketua kelas yang baik, aku tidak mau melanggar aturan sekolah yang melarang murid membawa hp. Tapi yah ... karena Gilang keluargaku yah ... begitulah. Nepotisme!

"Oh my God,  kakak!" pekik Gilang tak henti-hentinya men-scroll linimasa akun facebook kakaknya. Wajar jika Gilang tidak tau, karena dia lebih aktif di instagram.

"Foto kita saat lomba balap karung, foto kita saat wisata kuliner, foto kita nangkap lele di empang, foto kita mandi bola, foto kita—"

"Stop!"

"Mamah selalu meng-upload kegiatan kita di facebook."

Gilang mengangguk pelan, "Betewe, gue belum juga terbiasa elo ... manggil kakak gue ... Mamah."

Aku menatap Gilang datar, "Gue juga risih manggil mamah di depan lo, tapi ... lebih aneh lagi kalo gue manggil istri papah,  kakak?!"

"Disini rupanya ..." seseorang menghampiri kami.

"Bella?!" panggil Gilang. Buat yang lupa, Bella ini MANTAN-nya Gilang.

"Dre, kamu di panggil wali kelas tuh. Soal tugas kemaren," ujarnya, "ngomong-ngomong, kalian Om sama keponakan yah?!" sambungnya.

"Ck!" Gilang buang muka.

"Sttt," Aku memberi isyarat pada Bella untuk tidak membahas masalah itu.

"Memang apa masalahnya sih jadi Paman?" ujar gadis kecil itu.

"Aku ... belum punya kumis." jawab Gilang pelan.

"...."

"Biar ... saya bantu." Aku membuka tutup sepidol.

"...." Bella tertawa kecil, sungguh gadis yang manis. Bila dia bukan mantan Gilang, aku pasti akan memacarinya. Ehem, saat ... kita sudah besar nanti. (boleh nih di buat ceritah baruh, scane 10th kemudian)

"Hah," Gilang menghela napas berat.

"Aku suka kok sama Om-Om ..."

"Uhuk uhuk, ehmm." Aku tersedak dan berusaha bersikap normal kembali. Harusnya aku pergi menemui wali kelas sekarang. Tapi aku tidak boleh membiarkan Gilang pacaran, itu pesan Mamah Alia.

"Oh ya?" Gilang mulai sedikit ceria.

"Hu'um," Bella menggangguk lucu, "seperti ahjussi Goblin itu ... keren banget, dewasa." tambahnya.

Gak Mamah, gak Bella ... sama saja. Batinku, miris.

"Begitu yah?!" Gilang tersenyum lebar. Ia mulai membuat belah tengah, poni rambutnya, berusaha mirip ahjussi yang di maksud Bella.

"Serius, muka lo makin jelek, Lang."

"Asem, muka lo yang jelek!" Gilang memiting kepalaku di ketiaknya.

"Eh, eh, gak boleh gitu sama ponakan!" ingat Bella, "Ahjussi itu hatinya baik." tambahnya.

Gilang berganti, merangkulku. "Seperti ini?" tanyanya sambil mengacak-ngacak rambutku. Tapi langsung aku tepis, walau ia masih saja melakukannya.

"Iya, kamu memang Ahjussi yang keren!" katanya, dengan wajah bersemu merah.

"Begitu kah?!" tanya Gilang dengan nada di berat-beratkan, mulai menggoda.

"Ah!" Bella langsung saja berlari meninggalkan kami dengan wajah merah padam.

"Sungguh nakal, gue laporin lu ke Eyang Umi!" ujarku, berlalu meninggalkan Gilang.

"Apah?!"
.
.
.
.
.
.
.

Balada Keluarga SanjayTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon