Ending (But Our Story Never Ends)

921 52 15
                                    

ENDING! Hahahahaha ngebut nih ngebut! Karena mau liburan jadi menuntaskan cerita nabrak dulu deh. Maaf ya kalau ada salah kata dan perilaku tidak berkenan... Kok jadi malah kayak lebaran? -_-

Mungkin ada yang terbesit di pikiran kalian kenapa bahasanya Nita berubah. Hem, sebetulnya enggak ada yang nanya sih tapi aku jawab aja deh. Jadi karena dia sudah berevolusi, bukan anak-anak lagi jadi bahasanya dibikin beda. Biar sesuai! Enggak cocok aja udah mau 18 tahun masih suka sumpah serapah hahah

Oke, selamat membaca!

Tanganku meraih laptop di atas meja belajarku. Setelah itu aku berlari dan duduk bersila di atas kasur yang berada di sebelahnya. Mataku melirik ke jam dinding di dekat lemariku.

Jam setengah sembilan. Pasti dia sudah selesai belajar, pikirku.

Aku mengetikkan sesuatu dan menunggu. Seperti biasa. Sambil menunggu koneksi terhubung, aku mengambil susu cokelat panas yang baru saja kubuat. Entah mengapa sekarang aku suka susu coklat. Apa karena teringat Friza juga menyukai susu coklat atau gimana... Aku tidak tahu.

Aku mendesah pelan dan meminumnya.

Gelas bening yang menempel di bibirku ini tidak bergerak. Susu ini kemanisan. Apa karena aku kangen hal-hal yang manis jadi sampai memasukkan susu sebanyak ini ke dalam gelas? Sampai tadi aku melamun memikirkan Friza dan menuang air panas sehingga percikannya mengenai kakiku?

Ya, Friza. Cowok yang bikin aku hancur 3 bulan belakangan ini. Sudah membuat aku jatuh cinta dan meninggalkanku seenaknya.

Kampret.

“Hai, Nita!”

Suara sapaan aneh seperti ini terdengar menyenangkan. Aku menaruh kembali gelasku di atas meja belajar dan menyapanya.

Harus ekspresif, pikirku kesal. Aku membuat bibirku semanyun mungkin melihat penampakan di layar laptop-ku ini. Sementara lawan bicaraku berdecak pelan dan menundukkan kepalanya, dia tertawa geli melihatku.

“Marah ya? Udah 3 bulan enggak ketemu?” tanyanya dengan senyum simpul.

Aku tertegun melihatnya. Rambutnya sekarang lebih panjang.. Apa dia belum cukur rambut lagi? Lalu kumis tipisnya semakin terlihat jelas. Sorot matanya juga masih sama, meneduhkan. Tapi terlihat lelah. Aku bisa melihat kantung matanya tercetak jelas. Kepalaku mulai berdenyut memikirkan Friza.

Apa dia sudah makan?

Apa makannya banyak?

Apa dia kurang tidur?

Banyak sekali pertanyaan di kepalaku tapi ah, sudah. Aku menepis kekhawatiranku tadi dan menunjuk ke arahnya.. Hem... Lebih tepatnya layar laptop.

“Katanya kalau ada tanggal merah bakal pulang? Mana?! Pembohong!” seruku kesal. Dia malah terkekeh pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku berdecak pelan dan bersedekap dada. “Enggak pusing apa, Bang? Geleng-geleng terus kayak kuda lumping!”

“Ciye, perhatian banget sih hahahaha!” Tawa Friza semakin keras. Yah! Salah sasaran! Padahal mau bikin dia kesal malah diledekin balik! Huft.

“Ah, nyesel udah hubungin kamu duluan! Oke! Aku tutup laptopnya deh!”

“Eh! Jangan! Jangan! Enggak tau kamu ya, aku dari tadi nyari sinyal susah payah cuman biar bisa skype-an sama kamu? Ini aja aku lagi di luar,” sergahnya cepat. Dia panik banget saat aku sudah bersiap-siap menutup laptop-ku. Aku menatapnya heran.

“Kamu belum pulang?” tanyaku sedikit cemas. Ups, keceplosan kan. Padahal aku tidak mau sih kalau kelihatan khawatir di depan dia. Kenapa? Karena aku harus balas dendam! Dia cuman bisa janji aja mau ketemuan. Tapi apa? Sampai 3 bulan dia pindah ke Jogja, belum pernah aku mendengar berita heboh dari mamanya kalau dia balik ke rumah.

CRASHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang