3 - My Black Angel

877 52 1
                                    

Malamnya, aku tidak nafsu makan mengingat penjelasan Olivier tadi siang. Kematian. Aku memandang papa dan mama yang tampak cemas karena aku belum menyentuh makananku. 

"Ada apa, Cara?"tanya mama. "Kamu gak suka makanannya?" aku tergelak, lalou buru-buru makan. "Hmm.. enak kok, ma. Aku lagi gak laper aja" ujarku. Papa yang duduk diantara aku dan mama mengelus kepalaku. " Ya makan dikit aja. Buat ganjel perut" katanya. 

Ya Tuhan. Aku belum siap ninggalin kedua orang yang paling kusayang dimuka bumi ini. Tapi waktuku sudah ditetapkan. "Iya, pa. aku makan" ujarku sambil tersenyum, lalu menghabiskan makan malamku. Merekapun tersenyum walau aku tahu mereka juga mengetahui hal yang sama. Kematianku. Walau yang mereka tahu dari dokter waktuku bisa dihitung dalam beberapa bulan, tapi itu cukup. Cukup membuat mereka tidak pernah tersenyum lagi. 

Seusai makan aku kembali ke kamar. Setelah menyelesaikan tugas dan mempersiapkan keperluan sekolah, aku pun bersiap-siap tidur. 

Olivier's POV 

Aku terbang menuju istana Delena. Hal yang selalu berusaha kuhindari. Namun sayangnya pemimpinku bukanlah Angela melainkan dia. 

"Olivier, kesayanganku" ujar gadis yang tampak belia dengan busana hita. Gaun hitam tanpa lengan, rambut hitam terurai, lipstick merah, mata merah dan kulit putih susu. Itu Delena. Kecantikannya setara dengan saudaranya, Angela. Angela berambut pirang dan bermata biru, balutan gaun putih lengan panjangnya indah. Dan dia selalu rendah hati. 

"Ya, Delena" balasku. Dia tersenyum dan berdiri dihadapanku. Aku berada diruang utama dan ada didepan singgasananya. Ruangan yang didominasi hitam. Para malaikat gelap dengan sayap hitam, mereka berkeliaran disini. Kuingatkan, tidak ada malaikat yang jelek. Walau mereka malaikat gelap, mereka tetap malaikat. Dan malaikat selalu sempurna. 

Delena berkata, "Bagaimana pasien terakhirmu, itu?". Aku menjawab, "aku terus mengawasinya Yang Mulia" "Kalau begitu kenapa kamu masih disini? Cepat awasi dia!" seu Delena. Dan akupun langsung pergi menu rumah gadis itu. 

Aku tiba dijendela kamar gadis itu setelah terbang cukup lama. Aku menembus masuk ke kamarnya dan duduk dipinggir jendela kamarnya. Gadis itu sudah tertidur pulas. Akupun iseng melihat isi mimpinya. Ah, tidak bisa. Aku tidak bisa menembus mimpi seseorang. Sayang sekalu. Siapa tahu dia memimpikanku. 

Apa ini? Aku merasa bisa membaca pikiran gadis ini. Padahal dia sedang tid... oh, dia sudah membuka matanya. Walau posisinya membelakangiku, tapi aku tahu dia sudah bangun. Aku bisa merasakan rasa takutnya 

Cara's POV 

Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Seolah ada yang menusukku. Dan aku sadar, situasi ini selalu terjadi tiapn ada Olivier didekatku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Menoleh kearahnya atau pura-pura tidur. 

"Cara" suara itu menyebut namaku pelan. Aku merapatkan kelopak mataku. "Pergi.." ujarku bergetar karena ketakutan. Olivier berkata, "Aku cuma mau mastiin kamu belum mati sebelum waktunya" 

Aku menoleh kearah jendela dan melihat pria itu sedang duduk santai dipinggiran jendela kamarku. Aku pun duduk dikasurku. "aku bilang pergi.."suaraku mulain parau dan sebutir air mata menetes dipipiku. Oivier memandangku dengan terkejut. "Cara, aku.." "Pergi.." potongku sambil menutup mata dan kedua telingaku dengan tangan. Isakanku pun semakin menjadi saat Olivier tiba-tiba duduk disebelahku. 

"Aku akan pergi kalau kamu berhenti nangis dan kembali tidur" ujarnya lembut. Dia menidurkanku dipelukannya. Jujur rasanya dipeluk malaikat luar biasa nyaman. Aku merasa sedikit tenang. "Aku gak akan nyakitin kami, Cara" ujarnya. 

"Setidaknya sampai waktu itu tiba. Dan aku harus melakukannya." Akupun hanya bisa terdiam mendengarnya. Mendengar malaikatku. Aku baik-baik saja. Aku akan menjalani hidup dengan baik sampai ia mencabut nyawaku. 

Pagi tiba. Aku terbangun dan mendapati Olivier tertidur disebelahku. Tapi matanya tidak terpejam. Posisiku masih dalam pelukannya. Matanya menatapku yang baru bangun. 

"OLIVIER! Kenapa kamu masih disini!" aku langsung duduk tapi tidak dengannya. "Ini hari libur, Cara. Orangtuamu sedang pergi keluar, ada acara. Lalu kenapa aku harus pergi? Tugasku mengawasimu sekaligus menjagamu sampai waktunya tiba" ujarnya yang sempat membuatku tercengang. 

"Tapi bukan berarti kamu tidur dikasurku!" ujarku lalu bangun dari tempattidur. Malaikat satu ini benar-benar. Saat aku menuju kamar mandi, tiba-tiba dia ada dihadapanku. "Olivier!" seruku kaget. "Cara" ujarnya. "Bagaimana kalau kita jalan0jalan bareng hari ini. Shailene lagi kerumah omanya, jadi kamu pasti gak punya teman weekend ini" lanjut Olivier. 

Aku memandang mata merah gelap malaikatku. Lalu berpikir sejenak. "aku ingin kerumahmu. Aku juga ingin tahu tentang dirimu" ujarku. Senyuman maut itu muncul diwajahnya yang sukses membuat jantungku berdebar kencang. Kurasa ia menyadari itu, karena senyumnya melebar. "Kurasa kau mulai menyukai malaikatmu. Tentu saja kau boleh kerumahku, Cara. Dan jangan terkejut kalau aku hanya tinggal sendiri" ujar Olivier sebelum menghilang. 

Aku bersiap-siap menuju rumah Olivier. Aku mengenakan kaus putih, jaket hitam dan jeans serta menggerai rambut cokelatku. Kakiku dibungkus dengan boot semata kaki dengan heels 3cm warna hitam. 

"Sarapan dirumahku aja" ujar Olivier yang muncul tiba-tiba didepanku saat aku baru keluar dari kamar. Akupun kesal dan berkata, "bisa gak, sih, gak muncul dan ilang tiba-tiba terus. Dikira ga ngagetin apa!" Olivier tersenyum. Aku merasa mulas melihat senyumannya. Sebelum ia sempat membaca pikiranku, aku berjalan cepat menuju tangga ke bawah. Tapi kalimat terakhirnya sempat membuatku berhenti. "Kenapa jantung gue berdebar keras gini, sih, tiap dia senyum" dan itu, seharusnya bukan pikiranku 

\

Demon's Side 1 - Losing him was blueWhere stories live. Discover now