Sepotong Cerita dari Dunia Lain

17 1 0
                                    

Kepalaku hampir menciptakan ritme yang pasti. Bergantian menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke arah kertas kosong di sebelah kanan, lalu beralih ke jam tangan yang jarumnya tidak berhenti berpindah.

Sudah sekitar sejam aku duduk dengan kaku di atas kursiku. Sudah kugali memoriku begitu dalam, polpoinku masih urung bergerak di atas lembaran kosongku. Wajahku mungkin dipenuhi ekspresi aneh bermandikan keringat hasil pemikiran sia-sia. Aku akan menyerah. Keluar sekarang.

Aku sudah bersiap-siap menanggalkan tubuhku dari kursi keras itu, sebelum aku merasakan ada sesuatu yang menyenggolku. Mungkin keterkejutanku berlebihan akibat disenggol orang, tapi aku bertambah kaget lagi ketika tiba-tiba muncul kertas sontekan di pangkuanku. Orang itu?

Mahasiswa itu berjalan dengan langkah cepat menuju meja asisten dan menyerahkan lembar jawabannya. Sebelum keluar, ia memandangku, sorot matanya berkata 'cepat salin!'

Aku membuka kertas itu perlahan. Isinya memang benar jawaban. Ia menyalin semua jawabannya. Aku tidak berpengalaman dengan menyontek, tapi insting kejahatan memang selalu muncul dalam kondisi tertekan.

Cukup sepuluh menit untuk menyalin sontekan itu, senada dengan waktu selesai mengerjakan pretest itu. Kumasukkan sontekan itu ke dalam sepatu dengan ketakutan, mengumpulkan lembar jawaban ke depan kelas, lalu berlari mencari orang itu.

"Kenapa kamu menolongku?" kataku padanya ketika aku menemukannya di sudut kantin.

"Huh," dia menarik napas. "Dugaanku benar. Kamu memang orang baik. Bukan terima kasih yang kamu ucapkan pertama kali atas hal yang kulakukan, tapi kamu malah bertanya kenapa."

"Ha?" tanyaku bingung.

"Ini pretest pertamamu untuk praktikum. Aneh kan kalau gagal untuk praktikum pertama?" orang itu tersenyum.

Aku tidak menyahut.

"Ya, aku membantu bukan karena aku suka hal-hal curang seperti menyontek. Anggap saja ini wild card di kesempatan pertama. Kamu masih bisa berusaha di pretest selanjutnya. Aku yakin kamu punya alasan sendiri kenapa kertasmu kosong seperti itu."

Aku menggumamkan terima kasih dengan lirih ketika sosoknya semakin hilang.

***

Aku tidak tahu apakah ini cara terbaik menghabiskan weekend atau tidak, tapi aku yakin hampir tidak ada orang yang melakukan hal ini.

Syauqi. Seperti namanya, ia memang selalu jadi yang dirindukan. Sepulangku dari pesantren yang telah menaungiku selama enam tahun terakhir, aku baru bisa mengunjunginya setiap minggu. Dulu ia hanya kutengok sewaktu libur panjang saja, jadi ia pasti merasa kesepian selama enam tahun terakhir.

Tidak juga. Ia tinggal bersama banyak anak-anak lain. Aku sampai di panti tempat adikku itu tinggal dan langsung mencarinya ke dalam. Butuh beberapa saat baginya untuk mengenaliku pada saat pertama kali aku mengunjunginya. Namun, aku yakin sekarang dia lebih cepat mengenaliku.

"Mbaaaak" teriak Syauqi seraya menghambur ke arahku. Setiap aku mendengarnya memanggilku begitu, aku merasa bahagia. Beberapa tahun lalu, mengucapkan sebuah kata bukanlah hal mudah baginya.

Aku mengajaknya duduk, dan mulai mengajaknya ngobrol dengan bahasa-bahasa sederhana. Aku tidak berniat untuk membuatnya berpikir atau berusaha terlalu keras, namun dengan mengajaknya ngobrol setidaknya aku memberikan perhatianku padanya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 03, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Another Kind of WorldWhere stories live. Discover now