Guruku, Si Sahabat Rel

47 1 1
                                    

Yogyakarta, Indonesia

Jasmine:

Kakiku membawaku ke jalinan besi ini. Ketika aku lelah, mengingatnyapun membuatku merasa semangat kembali. Ya, masalah tak lagi sesulit dulu, walaupun tanpanya.

Cahaya matahari senja yang menua menerpaku. Sinar. Ray. Ah, aku merindukannya.

***

Rasanya hari ini amarahnya sudah tak terbendung lagi. Alih-alih memarahi semua orang, gadis itu malah berjalan jauh, terus saja jauh. Ke tempat sepi, berlindung dari hiruk pikuk kota. Tubuhnya mungkin sudah lelah, tapi jiwanya menginginkannya terus menjauh dari keramaian. Jiwanya ingin lepas, berlari, menjauh dan terbang.

Tak ada pemecahan dari masalah ini. Satu-satu yang dapat mengubah nasibnya adalah orang tuanya. Dan memikirkan kemungkinan hal itu sama dengan memikirkan ketidakmungkinannya. Orangtuanya sendirilah yang membuat nasibnya seperti ini.

Sudah lama dia berjalan di bantaran rel ini, rel belakang kampusnya. Terlihat pemukiman liar menghiasi tiap tepinya. Hanya sekali saja suara derum kereta api lewat terdengar dan setelah itu senyap lagi. Langit sudah bersemu jingga dengan matahari yang semakin rendah di ujung rel.

"Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are," suara ramai terdengar dari arah gubuk mungil di sekitar areal pemukiman itu. Sekali lagi jiwanya menuntunnya untuk mendekati arah suara itu. Didengarkannya lagu itu sampai selesai, tak beranjak dari sana. Matanya tak berpaling dari para penyanyinya, yaitu sekelompok anak-anak kecil kumal dengan seorang kakak yang terlihat sangat kontras dari mereka, lelaki rapi.

"Pulang dulu brother Ray! Bye!" Teriak mereka sambil berebutan menciumi tangan kakak itu.

"Take care on the way, kids!" Balasnya sambil tersenyum.

Hingga anak-anak tadi pulang satu-satu, gadis itu tak beranjak. Mematung disana, menatap pemandangan di depannya. Lelaki rapi itu merasa diperhatikan. Berbaliklah dia, dan mendapati seorang gadis berjilbab dengan penampilan kacau mengamati dari jauh. Gadis aneh, pikirnya. Tak mengalihkan pandangannya dari sana, lelaki itu menyunggingkan senyum.

***

Pesantren, tempat yang diramalkannya akan membunuhnya perlahan-lahan. Setiap malam dia harus mengikuti Madrasah Dinniyah, yaitu sekolah agama. Setelah siangnya disibukkan dengan kegiatan kuliah, malamnya di pesantren, dia masih harus mengaji soal agama yang belum pernah dia ketahui sebelumnya. Seperti menulis arti sebuah kitab dengan tulisan arab kecil miring-miring yang orang-orang sebut memaknai kitab. Juga melagukan beberapa kalimat arab yang orang-orang sebut nadhom. Juga menghafal metamorfosa aneh dari sebuah kata yang orang-orang sebut tasrifan shorof.

Malam hari adalah waktu yang dibencinya. Tapi malam ini, tiba-tiba saja dia ingin sekali melihat langit, twinkle-twinkle little star.

***

Tak tahu kenapa hari ini dia ingin mengulangi kejadian seperti kemarin. Berjalan menyusuri bantaran rel. Dengan semangat dia menenteng dua kantong keresek besar berisi makanan. Dia ingin menemui anak-anak rel itu.

Dari kejauhan, seorang pemuda sedang bersepeda melewati tepi rel. Dilihatnya gadis itu. Akhir-akhir ini banyak orang aneh yang lewat jalan ini, pikirnya. Dia bersepeda saja terus, namun hampir terlonjak karena gadis yang berjalan itu adalah gadis aneh yang dilihatnya kemarin.

Lelaki itu turun dari sepeda, dan menyanyainya dengan penasaran. "Kamu ngapain disini?"

Gadis itu menghentikan langkahnya "Ah, nggak apa-apa." Jawabnya sambil meringis. "Um, aku ingin menemui anak-anak yang di gubuk itu. Eh, kamu yang waktu itu disana juga kan?"

Another Kind of WorldWhere stories live. Discover now