[09] Apa Pun Asal Jangan Mati

194K 16.7K 872
                                    

Seharunya ini dipost tadi malem. Tapi karena samting, baru bisa publish sekarang 😅

Makasih buat banyak komenan di part sebelumnya. Seneng deh liat yang biasanya cukup vote, jadi mulai ninggalin komen. Sering-sering dong kayak gitu, biar aku tau kamu *eaaaaa

***

[09] Apa Pun Asal Jangan Mati

🎯🎯🎯

Pukul sebelas malam. Agam masih berkutat dengan buku kimia, memeriksa apakah semua jawabannya sudah benar. Untuk kali kesekian, Agam mengorbankan satu malamnya untuk mempelajari mata pelajaran yang amat tak ia minati tersebut.

Agam memang jenius di matematika, tapi ia nyaris nol besar di kimia. Baginya, kimia lebih rumit dari sekadar deretan angka.

Pergerakan seseorang yang berbaring di atas sofa membuat fokusnya teralih. Agam serta-merta beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Lamia yang masih mengerjapkan mata.

"Agam? Kok gue tidur di sofa?" tanya Lamia langsung ketika kesadarannya sudah utuh. Detik selanjutnya, ia terkesiap sendiri. "Astaga! Gue ketiduran ya?"

Agam mengangguk sekali. "Seharusnya gue tadi langsung mindahin lo ke kamar. Gak nyaman ya tiduran di sofa?"

Lamia mengubah posisinya menjadi duduk. "Enggak, bukan itu. Duh, tugas kimia lo gimana jadinya, udah? Eh, sekarang jam berapa? Lo belum mau pergi?"

"Udah. Jam sebelas. Belum," jawab Agam atas pertanyaan beruntun itu.

Satu jam yang lalu, Lamia dan Agam memang sedang belajar kimia. Lamia yang sebagai mentor, sedang Agam menyimak dengan patuh. Itu semua karena Agam ada tugas yang mesti dikumpulkan besok. Meski dia mau bolos besok, Lamia memaksa agar tugas tetap dikumpulkan.

"Coba gue liat," pinta Lamia.

Dibanding memikirkan bagaimana penampilan bangun tidurnya di depan Agam, ia lebih memilih mengkhawatirkan tugas yang dibuat Agam. Lagi pula, sudah sering cowok itu melihatnya dalam keadaan begini. Untuk apa sok jaim, seperti kebanyakan cewek bersikap di depan Agam.

"Lo lanjut tidur lagi aja."

"Gak apa, cuma ngoreksiin doang."

"Pasti bener, La, sesuai sama apa yang lo ajarin."

Lamia menatap Agam lama. Selanjutnya, ia mengangguk. "Oke deh. Gue ke kamar mandi dulu, tiba-tiba gak enak perut." Lamia beranjak, dalam beberapa langkah, ia sudah menghilang di balik pintu kamar mandi.

Tidak sampai satu menit, terdengar suara klik, diikuti pintu yang terbuka. Lamia menyembulkan kepala dari celah pintu.

"Agaaam," panggilnya, membuat Agam yang sedang merapikan buku-buku, menjadi menghampiri.

"Kenapa?"

Lamia menggigit bibir bawahnya pelan sebelum menjawab dengan gusar, "Tamunya dateng lebih cepet."

Untuk sejenak, Agam tidak mengerti maksud ucapan Lamia.

"Gue gak ada nyimpen stok softie," tambah Lamia.

Barulah Agam mengerti. "Oke, biar gue yang beli."

Ini memang sudah larut malam, tapi di dekat gedung apartemen mereka, ada sebuah minimarket yang buka 24 jam. Cukup sering mereka berbelanja di sana di saat-saat waktu yang kurang wajar.

"Agam," panggil Lamia lagi, menghentikan langkah Agam yang sudah nyaris mencapai pintu.

"Beli yang siang sama malam ya. Cari yang 38 cm buat malam."

Agam mengangguk. Dan tanpa banyak buang waktu, ia membuka pintu dan menutupnya dari luar. Membeli pembalut sekilas tidak sememalukan membeli kondom. Lebih umum. Apalagi ini bukan kali pertama Agam membelinya. Hanya saja ... Agam berharap kalau kasir minimarket tersebut adalah orang yang biasa meladeni ia berbelanja 'macam-macam'.

***

"Selamat malam."

Agam menoleh ke arah kasir yang menyapanya begitu masuk minimarket. Dia tersenyum samar, menyembunyikan kekecewaan. Perempuan di balik meja kasir itu bukan kasir langganannya.

Agam bergegas menghampiri rak pembalut. Tidak butuh waktu lama menemukan mana yang dicari karena ia sudah sering melihat Lamia membelinya di depan mata kepala sendiri--dan juga karena ia sudah pernah beberapa kali membelinya untuk Lamia.

Ia lalu mengambil dua pak pembalut pilihannya--satu pak pembalut siang dan satu pak pembalut malam 38cm--dan berjalan menghampiri sang kasir yang masih memamerkan senyum. Entah senyuman apa. Agam tidak mau repot-repot mengartikannya.

"Buat kakaknya ya?" tanya sang kasir ketika Agam hendak mengambil dompet di saku celana.

Agam menggerakkan mata menatap sang kasir. Pertanyaan yang akan diterima ketika bukan sang kasir langganan yang ada di depannya.

"Iya."

***

Ketika keluar dari kamar mandi, Lamia terlihat lebih tenang meski tampak mengantuk. Tentu saja. Cewek itu tidak biasa mengalami jam tidur setengah-setengah.

"Mau teh? Susu? Atau jahe hangat?" Agam mengikuti langkah Lamia ke kamar.

Lamia menggeleng. "Gue mau lanjut tidur." Ia lalu berbaring di atas ranjang.

"Enggak nyeri? Sakit?" tanya Agam sambil menarik selimut sebatas leher Lamia.

Lamia tersenyum kecil. "Enggak, Agam. Gue yang dateng bulan, kenapa lo yang senewen?"

Agam duduk di tepi ranjang, di samping Lamia. "Soalnya gue gak bisa nemenin kayak biasanya."

"Gak apa. Toh cuma sehari doang kan." Lamia mulai menutup mata. Rasa kantuk benar-benar menyerangnya.

"Iya, sehari. Hari pertama lo kena," ucap Agam. Ia lalu meraih tangan kiri Lamia, memijit telapak tangannya. Hal yang biasa ia lakukan untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan Lamia.

"It's okay. Gue udah mau tidur juga kok. Jadi nyerinya gak bakal menyiksa banget." Lamia kembali membuka mata, menatap Agam. "Tapi ..., sampe gue tidur, lo jangan pergi dulu ya, Agam. Temenin gue dulu," pintanya.

"Oke." Agam masih terus memijiti telapak tangan Lamia.

"Lo belum mau pergi, kan?" tanya Lamia memastikan, takut permintaannya menghambat urusan Agam.

"Belum." Agam melirik jam tangannya. "Masih ada waktu dua jam lagi sebelum Joker manggil."

Joker. Kalau orang itu yang menugaskan langsung, bisa dipastikan tugas Agam akan lebih berat dari biasanya.

Lamia makin merapatkan diri ke Agam. Tidak sengaja, matanya menatap benda-benda di atas nakas. Benda-benda yang biasa Agam bawa saat bertugas. Matanya lalu berpaling ke Agam lagi.

"Agam ..., apa pun yang terjadi, jangan sampe mati ya?"

Ada jeda dua detik sebelum Agam menjawab, "Iya."

Cukup satu kata itu, satu kata yang membuat Lamia bisa tenang dalam tidurnya.

Agam masih terus memijiti telapak tangan Lamia, seolah seperti nyanyian pengantar tidur. Lamia akan tidur lelap, sementara dirinya nanti akan mulai mengambil peran di dunia yang kejam.

***

Bad Boy on My BedWhere stories live. Discover now