[04] Asal Bersama

279K 19.8K 740
                                    

[04] Asal Bersama

🔐🔐🔐

Lamia sedang menyusun obat-obatan ketika Agam melangkah masuk UKS. Cowok itu membawa sepiring nasi goreng dan sebotol air mineral. Ia berdecak pelan. Cewek ini .... Bukannya beristirahat, malah banyak gerak.

"La, siapa yang nyuruh lo ngebabu di sini?"

Agam meletakkan bawaannya di atas meja dekat Lamia. Ia menatap tajam, pada Lamia dan juga obat-obatan yang sudah nyaris tersusun rapi itu.

Ia sudah lari-larian dari kelas ke kantin begitu bel istirahat berbunyi,  setelah memaksa diri mengerjakan soal-soal kimia sebisa mungkin walau mumet. Mengantri di kantin. Lalu buru-buru ke UKS lagi. Tapi apa yang ia dapat? Lamia bahkan anteng-anteng saja.

Sementara Lamia, bukannya terkejut, ia malah tersenyum. Ternyata ini alasan Tisa cepat-cepat pergi sepuluh detik yang lalu.

Sebelum kedatangan Agam ini, Tisa sudah duluan datang menengok. Sahabatnya itu mengantar seragam putih abunya. Tisa sempat mengajak Lamia untuk makan di kantin, namun urung ketika cewek itu menyadari ada sosok yang melangkah cepat-cepat ke UKS.

Oleh karena itu, Tisa langsung pamit, tidak mau menjadi obat nyamuk bagi Agam. Sebelum disuruh pergi oleh si kampret itu, Tisa sudah sadar diri untuk segera pergi.

"Siapa yang ngebabu sih, Agam .... Gue sendiri yang mau ngelakuinnya," jawab Lamia riang.

"Lo mesti istirahat, La. Liat luka di jidat sama lutut lo."

"Agam, please, ini cuma luka kecil." Bibir Lamia mengerucut sebal.

"Terserah lah. Sini, lo mesti duduk lagi." Tanpa seizin Lamia, Agam menarik pelan lengannya. Memaksa Lamia agar duduk dengan manis di pinggiran brankar.

"Lo kok ke sini lagi, Gam? Ini udah jam istirahat lho, gue juga bentar lagi mau balik ke kelas kok pas Dokter Yesti balik ke sini," ucap Lamia.

Agam tidak menyahuti ucapan Lamia. Ia ambil kembali piring tersebut, lalu duduk di depan Lamia. "Makan, La," ucapnya.

"Males makan, Agam ...."

Agam kembali menatapnya tajam. "Tadi pagi lo udah gak sarapan, sekarang masih gak mau makan juga? Mau gak mau, lo mesti makan. Kalo nolak, gue paksa ini nasi masuk ke mulut lo pake mulut gue."

Lamia terdiam. Detik selanjutnya, ia tersenyum usil. "Uuu mau dong disuapin pake mulut oleh most wanted guy-nya Atlanta. Nih, nih, suapin."

Lamia memaju-majukan mulutnya dengan gaya centil, gaya yang sangat amat jarang ia lakukan. Hanya pada Agam. Ya, hanya pada Agam ia berani bersikap seperti ini.

Agam mendengus pelan. Mengabulkan ucapan Lamia, dengan cepat ia menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Dan hanya dalam sekali kedipan mata, tangannya menarik rahang Lamia untuk mendekat.

Nyaris.

Nyaris saja Agam benar-benar melakukannya jika Lamia tidak menutup mulut dengan sebelah tangan. Matanya melotot horor seolah memperingati Agam.

"Agam! Gue kan cuma bercanda!" seru Lamia setelahnya.

Agam menjauhkan diri, lalu mengangkat sebelah alis. "Well, gue gak keberatan ngelakuinnya kalo lo yang minta."

Bibir Lamia mengerucut sebal. "Ya udah deh, gue mau makan." Selanjutnya ia kembali tersenyum. "Tapi suapin ya, Agam."

"Hm."

Agam benar-benar melakukannya. Ia kembali memegang sendok. Kali ini bukan untuk disiapkan ke dirinya sendiri, melainkan pada mulut cewek di depannya.

"Lo makan juga dong, Gam," ucap Lamia setelah menerima suapan dari Agam.

"Iya, iya." Agam menurut. Lagi pula, memangnya Agam bisa menolak jika Lamia yang meminta? Dengan sendok yang sama, ia menyendokkan nasi ke mulut.

Ciuman secara tidak langsung? Benarkah? Kalau begitu, berarti Lamia dan Agam sudah sering melakukannya. Entah sudah berapa kali Agam menyuapi Lamia dengan sendok yang ia pakai. Atau entah juga sudah berapa kali Agam mencomot makanan dari sendok yang dipakai Lamia.

"Lo kenapa ke sini lagi, Gam?"

Lamia mengulang pertanyaannya tadi. Satu-satunya yang berani mengulang pertanyaan ke Agam, adalah Lamia. Kalau muird lain, boro-boro! Diacuhkan Agam saja sudah bikin ketar-ketir, apalagi kalau bertanya ulang. Pokoknya jauh-jauh deh berusuran sama Agam.

"Mau nyamperin lo lah, La," jawab Agam sekenanya.

Lagi pula, tanpa Agam jawab pun seharusnya Lamia sudah tahu jawabannya. Memangnya bisa Agam berjauhan dari Lamia? Semua orang di sekolah ini bahkan sudah tahu jawabannya.

Lamia tersenyum kecil. "Soswit deh. Kenapa gak ke kantin aja? Ngumpul sama anak-anak yang laen?" Lamia sengaja bertanya. Sorot matanya bersinar geli.

"Karena gak ada lo," jawab Agam singkat, masih sambil menyodorkan sendok nasi kepada Lamia.

Untung aja ini Lamia, jadi Agam bisa sabar menjawab pertanyaan yang jawabannya terpampang jelas di jidat.

Senyum Lamia makin lebar. "Aduh, Agam, gue jadi makin sayang deh. Kalo gue gak bisa lepas dari lo, gimana?"

Kali ini, Agam yang tersenyum kecil. Ditatapnya Lamia lekat-lelat. "Bukannya udah dari dulu hal itu berlaku?"

Ya sejak dulu. Dari dulu hingga sekarang, Lamia dan Agam seolah tidak terpisasahkan. Bagi Lamia, Agam adalah tempatnya bergantung. Satu-satunya sosok yang bisa melewati garis teritorial dengan tanpa batas.

Dan Lamia juga tahu, hal itu berlaku sebaliknya.

Lamia membalas tatapan itu dengan penuh arti. "Ya, lo bener."

Bagi Lamia, nyatanya memang sulit melepaskan diri dari Agam. Baginya, Agam itu segalanya. Dan bagi Agam, Lamia juga adalah segalanya. Bersama, mereka merasa bisa melalui segalanya.

Indah? Tidak juga. Karena terkadang kebersamaan ini mengandung pedih, mengandung luka yang tak kasat mata. Luka yang tidak mampu mereka obati, sehingga satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membiarkan waktu yang menyembunyikan. Entah sampai kapan.

"Lo sendiri kenapa gak keluar dari sini?" Kali ini Agam yang bertanya.

"Ngobrol sama Dokter Yesti. Kami tadi ngobrol banyak, dan gue jadi makin yakin kalo pengen jadi dokter." Senyum Lamia merekah.

Setelah Agam keluar dari ruang UKS tadi, Lamia bisa bebas mengobrol banyak dengan Dokter Yesti. Ia bahkan melupakan lukanya yang tak seberapa itu. Ia juga dengan semangat menawarkan diri menyusun obat-obatan ketika Dokter harus pergi keluar sebentar karena ada urusan.

Untuk sejenak, Agam terpaku menatap Lamia. "Ya, lo emang mesti yakin sama cita-cita lo. Lamia Ashalina pasti bisa jadi dokter hebat nantinya."

Ada rasa berkecamuk di Agam ketika mengucapkannya.

"Dan Agam Aderald pasti bisa jadi seorang arsitek keren nantinya," sambung Lamia dengan senyum yakin.

Agam membalasnya dengan senyum pahit. Menggapai cita-cita .... Entah mengapa rasanya begitu mustahil untuk dilakukannya.

"Nanti lo bisa buat rumah yang amazing buat kita berdua. Rumah yang dirancang oleh tangan sendiri. Di sana, kita bisa kumpul-kumpul dengan nyaman sama keluarga ...." Untuk sejenak, Lamia membiarkan agangannya menguasai. Ia berdeham pelan, lalu kembali berkata, "Bersama, kita pasti bisa sukses ke depannya, Gam." Dan akhirnya, nada pedih itu terdengar juga dari mulut Lamia.

Agam menatap Lamia lekat. Bersama. Cukup kata itu yang perlu ia yakinkan. Dan kalau Lamia ingin menjadi dokter, maka memang harus jadi dokter. Tidak peduli apa, Agam akan mati-matian membantu mewujudukan itu.

Tentang dirinya? Asal Lamia bisa bahagia, itu sudah cukup. Lagi pula, apa yang bisa ia harapkan dari dirinya yang 'cacat' ini. Satu-satunya hal berguna yang bisa ia lakukan adalah menjadi apa saja untuk Lamia. Ya, selama bersama Lamia, Agam rela melakukan apa pun.

Cukup dirinya yang hancur. Cukup dirinya yang remuk luar dalam. Tapi tidak dengan Lamia. Lamia harus sukses di masa depan. Harus.

***

Repost (1 April 2022)

Bad Boy on My BedWhere stories live. Discover now