Gurame Asam Manis

25 0 0
                                    

Sita sangat membenci Gurame asam manis. Masakan itu selalu mengingatkannya akan kejadian tiga tahun lalu, saat ia pertama kalinya menyaksikan kedua orangtuanya bertengkar tepat di hadapan wajahnya. Ayah menampar ibu, dibalas dengan lemparan piring. Keduanya bersahut-sahutan melontarkan caci dan maki, sementara Sita hanya bisa duduk diam di meja makan, menatap hidangan yang tersaji di meja makan tanpa nafsu.

 Gurame asam manis buatan mama berakhir tak tersentuh malam itu dan malam-malam berikutnya. Bau hidangan itu saja cukup untuk membuatnya mundur selangkah. Jangan pernah sebut makanan itu di depannya, atau ia akan membencimu seumur hidup. Berlebihan? Rasanya tidak. Kejadian itu begitu membekas di hatinya.

 Kini Sita tak lagi tinggal bersama kedua orangtuanya, ia memilih bersekolah di tempat yang menyediakan asrama dan memutus kontak dengan mereka berdua, kecuali urusan akademis. Dengan bersikap begitu ia merasa adil, tidak tampak memihak pada salah satu sekaligus pada dirinya sendiri. Masa kecilnya hancur karena mereka berdua memutuskan untuk bercerai, dan ini alasan yang sebenarnya mendasari sikapnya.

 Hei, coba tebak menu makan malam hari ini apa.

 Gurame asam manis.

Remaja putri itu langsung mengeluh. Ia hanya mengaduk-aduk isi piringnya tanpa nafsu sambil bermain dengan ponselnya. Tingkahnya itu mengundang tanya dari teman sejawatnya, namun ia tidak menjawab. Ia lebih suka menyimpan cerita itu untuk dirinya sendiri dan beralasan tidak bisa makan karena alergi. Ia pun kembali ke kamar lebih awal, merebahkan tubuhnya di atas ranjang kapuk tersebut.

 Ponselnya berdering, berarti panggilan dari ayah atau ibunya.

 Sita menatap layar ponsel tersebut, tidak terkejut melihat nama yang tertera di sana.

 “Ada apa ayah?”

 Sang ayah mengajak bertemu pada akhir minggu ini, ia hanya bisa mengiyakan walau dalam hati ingin menolak. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan kamar kosong atau warnet daripada harus bertahan dalam pembicaraan satu arah yang walau hanya satu atau dua jam terasa bagai bertahun-tahun lamanya. Membayangkannya saja cukup untuk membuat sekujur tubuhnya pegal-pegal.

 Andai saja Hari Minggu tak perlu datang.

Tahukah kau bahwa semakin kau ingin waktu tak cepat berlalu, semakin cepatlah ia berlalu?

Dalam sekejap Hari Minggu pun tiba dan Sita sudah duduk manis di dalam sebuah restoran keluarga bersama sang ayah, ada tiga buah kursi di meja tempat mereka berada. Perasaannya tidak enak. Pertanyaan basa-basi sang ayah hanya ia jawab dengan sepatah dua patah kata.

 “Ayah, apa hari ini kita akan makan bersama Ibu?”

Laki-laki paruh baya itu tidak menjawab, ia melirik ke arah arlojinya. Ketika pintu restoran dibuka dan menampakkan sosok seorang wanita yang tidak dikenal barulah Sita mengetahui siapa yang akan menduduki kursi tersebut.

“Sita, perkenalkan. Ini Ibu Ami.”

Wanita itu bertubuh jangkung, ditambah sepatu hak tinggi yang membuatnya melampaui tinggi Ayah. Rambutnya panjang, diblow dengan rapi dilengkapi make-up tebal membuatnya tampak seperti artis ibukota yang baru saja selesai sesi pemotretan. Wanita muda yang mungkin usianya tidak sampai dua kali lipat usia Sita saat ini memamerkan jajaran giginya yang rapi dan putih bersih pada Sita. Uluran tangan itu ia sambut dengan setengah hati, tak ada senyum di wajahnya.

Biarpun Ibu giginya sedikit gingsul, senyumnya tampak jauh lebih indah dan tulus daripada wanita tersebut.

Menu makan siang hari ini gurame asam manis, pilihan wanita tersebut.

Tampaknya Sita tidak akan pernah menyukai gurame asam manis seumur hidupnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 09, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kumpulan DrabbleWhere stories live. Discover now