Chapter I

610 6 6
                                    

Another story of Taylor Squared. Melihat kisah mereka dengan imajinasiku. Untuk mencegah rasa bingung aku sengaja mengubah nama dengan nama tengah mereka. Alison atau Ally untuk Taylor Swift dan Daniel atau Dan untuk Taylor Lautner. Bukannya lancang tapi memang menceritakan kisah mereka dengan prospektifku sendiri. Banyak dari cerita ini tidak sesuai fakta yang ada walaupun secara garis besar memang tentang Taylor Squared. Happy reading ;)

Regards, C

---------

Melihat wanita setengah baya muncul dihadapanku menandakan kalau aku tidak berhasil, lagi. Aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk menyadarkan gadis itu kalau perasaanku padanya sangat dalam. Berkali kali aku menelepon dan mengiriminya pesan tapi dia tidak pernah menjawabnya. Aku datang langsung ke rumahnya tapi dia tidak pernah ada di rumah dengan alasan yang bermacam-macam. Kali ini aku bahkan bertanya langsung pada ibunya tapi dia tidak pernah membicarakan apapun dengan ibunya. Hal ini membuatku benar- benar  bingung. Apa salahku hingga dia mengakhiri hubungan kami secara tiba-tiba.

Awalnya semua tampak sempurna. Ketika aku pertama kali menjatuhkan mataku padanya, aku terpesona. Rambut pirang dan biru matanya membuatku berpikir tentang matahari dilangit yang cerah. Senyum lebar dan gerakan canggungnya menyadarkanku jika dia tidak berpura-pura. Kami berkenalan dan saling mengenal lebih jauh hingga kami berdua sepakat menjalin hubungan spesial. Saat itu aku merasa sangat beruntung jadi aku memperlakukannya sebaik yang bisa kulakukan. Aku berusaha menepati seluruh janji, menghiburnya ketika sedih atau sekedar menelepon bagaimana kabarnya. Sayangnya itu tidak menjamin kalau dia akan tetap bersamaku. 2 hari sebelum malam natal dia menelepon untuk memintaku menemuinya. Aku tidak menyangka jika dia akan memutuskanku dengan alasan omong kosong bahwa keputusan itu yang terbaik untuk mereka berdua. Seharusnya dia memberikanku kesempatan untuk memilih keputusan mana yang terbaik untukku sendiri.

"Maafkan aku Dan, tapi dia benar-benar tidak memberitahuku apa yang dialaminya. Bahkan ketika aku mendesaknya Ally tetap tidak mau berbicara." Ucapan bibi Andrea menyadarkanku kembali kemasa kini.

"Apakah dia menerima kotak musik yang kuberikan padanya?"

Bibi Andrea menyodorkan padaku kotak musik yang seharusnya kuberikan pada Alison.

"Maaf Dan tapi dia menolaknya. Dia tidak ingin barang apapun yang mengingatkannya pada dirimu."

Kekecewaan besar melandaku. Aku tidak menyangka Ally akan menolak pemberianku mentah-mentah.

"Aku tahu hal ini menyakiti hatimu, Dan. Kuharap kamu mengerti keputusan yang diambil Ally dan menghormatinya. Diantara semua kekasih Ally cuman kamu satu-satunya yang bisa kupercayai dan mendapat persetujuanku. Jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membuatmu bersama lagi aku pasti sudah melakukannya tapi perasaan memang tidak bisa dipaksa." Simpati terdengar dari ucapan bibi Andrea.

"Aku tahu bibi. Aku tidak pernah menyalahkanmu. Mungkin sebaiknya aku pamit dulu bibi. Jaga dirimu baik baik"

Aku merasa kalah. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali melepaskan seluruh perasaanku. Memulai perasaan baru dengan orang yang baru.

*****

Aku berusaha menyibukkan diriku. Aku tidak mau perasaan muram selalu bergelayut padaku. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa sudah saatnya melihat kedepan. Bahkan sahabatku Eddie selalu mengeluh jika rasa muram mulai menghantuiku. Mungkin hal itu juga yang mendorongnya untuk mengenalkanku pada salah satu temannya, Layla. Walaupun Layla tidak terlalu cantik tapi sesuatu pada dirinya selalu membuatmu nyaman. Layla adalah orang yang bisa kamu ajak menikmati kesunyian malam disisi lain kamu bisa mengajaknya untuk melakukan hal hal gila. Orang yang kubutuhkan saat ini.

Kami berdua semakin dekat walaupun kami sepakat untuk tidak membuatnya menjadi semakin eksklusif. Dia perlu waktu untuk meyakinkan perasaannya kepadaku dan aku perlu waktu untuk menyiapkan diriku pada hubungan yang baru.

Malam ini kami akan makan malam bersama karena malam ini adalah kesempatan terakhir kami sebelum malam Natal dan kami akan menghabiskan liburan kami sampai tahun baru nanti bersama keluarga masing masing. Layla berjanji kalau dia akan memasakkan makan malam nanti dirumahku.

Layla datang tepat waktu seperti yang kami sepakati. Dia memakai gaun putih hijau dengan sepatu boot koboi kesukaannya. Dia hanya memakai lip gloss tanpa make up lainnya. Natural.  Aku mempersilahkan dia masuk dan memperingatkan dirinya untuk tidak membakar rumahku dengan nada bercanda. Layla tertawa, seperti yang kuharapkan. Suara tawanya seperti denting bel, manis dan lembut.

Layla memintaku untuk menyiapkan meja sementara dia memasak. Ketika aku menata piring untukku dan Layla bel berbunyi. Aku berhenti sejenak,bingung. Aku yakin Makena dan kedua orang tuaku sudah di London untuk berlibur. Apa ada yang tertinggal?

Aku membuka pintu dan membeku. Rasa kaget yang tidak dapat kutahan melandaku. Aku tidak menyangka akan melihat gadis ini sekarang. Ally

Say Good ByeWhere stories live. Discover now