Episode 1: Alka si Penakut

34.8K 2.4K 820
                                    

Alka terdiam menatap pasien yang satu kamar dengannya itu. Mereka hanya dipisahkan oleh satu lembar kelambu.

Biasanya kelambu itu tertutup. Tapi hari ini perawat lupa untuk menutupnya, sebab terburu-buru harus menolong pasien sebelah.

Remaja yang sepertinya seumuran dengannya itu terus muntah sejak tadi. Karena terlalu banyak muntah, ia kini hanya memuntahkan cairan bening.

Dia kelihatan lelah. Tubuhnya yang lemas, lunglai begitu saja ke atas brankar. Perawat dengan telaten mengelap mulutnya lagi.

Tak mau melihat terlalu lama, Alka akhirnya menutup tirai saja.

Memasang earphone, mendengarkan musik dari ponselnya.

Ia mengambil kubus rubiknya di meja nakas. Dan mulai memainkannya.

Tangannya dengan cekatan memutar setiap poros kubus di sana. Dalam hitungan detik, ia sudah bisa menyusun kubus rubik itu dengan sempurna, sesuai dengan tatanan warna yang selaras.

Alka sudah memainkan benda itu selama bertahun-tahun. Wajar jika ia sudah hafal dengan setiap langkahnya.

Meski pikirannya sedang kalut. Tidak fokus dalam membenarkan posisi kubus rubiknya. Nyatanya seolah tangannya sudah memiliki mata dan otak sendiri akibat terlalu sering berlatih.

Alka memiliki ratusan bahkan mungkin ribuan kubus rubik. Ketika satu kubus rubik sudah ia susun dengan baik dan benar, ia akan mengambil kubus rubik yang baru, di mana posisinya masih acak-acakan.

Sayangnya kini Alka sedang tidak di rumah. Jadi setelah menyusun kubus rubik menjadi rapi, ia akan mengacaknya lagi. Dan merapikannya lagi. Begitu seterusnya.

Pikirannya terus tertuju pada anak di sebelah. Yang baru saja melakukan kemoterapi.

Setelah ini adalah giliran Alka. Ini akan menjadi proses kemoterapi pertama baginya. Bohong bila ia tidak takut.

Makanya ia kalut dan pikirannya ke mana-mana.

Membayangkan ia akan mengalami hal sama seperti bocah di sebelah.

"Alka!" seru Lautner, perawat yang tadi di bilik sebelah merawat Damien.

Ia kini sudah masuk ke bilik Alka. Bersiap untuk melakukan proses kemoterapi pada Alka.

Debar jantung Alka seketika meningkat. Wajahnya pusat pasi bukan karena penyakitnya kumat, melainkan sebab takut untuk menjalani proses kemoterapi yang pertama baginya ini.

   
 

   "Sudah siap?" tanya Lautner sembari terus tersenyum ramah.

Pembawaan Lautner memang begitu. Selalu tenang, ramah, tipikal perawat lain pada umumnya.

Sebenarnya bagi Alka sendiri, baru pertama kali ia melihat seorang perawat laki-laki. Masih muda pula. Ternyata walau laki-laki, Lautner sama terampilnya dengan perawat perempuan.

    Bukannya menjawab, Alka justru terdiam. Matanya fokus menatap meja troley yang dibawa Lautner. Suntikan, pil, dan berbagai obat dalam tabung kecil berada di sana. Membuat debar jantung Alka makin menjadi.

    “Kenapa?” tanya Lautner lagi.

    “Uhm ... Lautner, seandainya aku tidak menjalankan proses kemoterapi, apa aku akan lebih cepat mati?" Pertanyaan random itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulut Alka.

ALKA dan KUBUS RUBIKWhere stories live. Discover now