[2] Rafa dan Kejutan

34.8K 2.9K 235
                                    

"WHAT THE HELL?!" Rafa menjerit tidak percaya ketika kakinya berhenti di depan gerbang kayu sebuah kontrakan kecil.

Jangkrik-jangkrik ikut menjawab teriakan Rafa, nyamuk-nyamuk asik menciumi pipi Rafa meninggalkan bentol.

Gak ada yang namanya hotel, gak ada yang namanya tempat tinggal mewah. Di depannya, hanya sebuah rumah yang disulap jadi kontrakan dengan jejeran empat pintu yang saling berhadapan. Rafa lebay, rumah sederhana ini sebenarnya masih layak ditempati, cuma ya, gak sebagus rumah-rumah di depan gang yang tadi ia lewati.

Rafa kira, dia bakal tinggal di salah satu rumah di depan gang tadi. Yang bercat biru ada tempat parkirnya, yang bercat hijau lantai dua, atau yang bercat merah yang paling menonjolkan 'kemewahan' di antara jajaran rumah yang lain. Eh taunya, dia harus masuk ke gang yang lebih kecil dan mendapati tempat ini nih.

Rafa membuka gerbang kayu yang dirantai. Jadul banget sih masih pake rantai, batin Rafa. Gemboknya tidak dikunci, mungkin si yang punya kontrakan tau kalau bakal ada penghuni baru datang malam ini.

"Eeee... Nak Rafa Enggardion ya?" Seorang wanita paruh baya memakai daster keluar dari pintu kontrakan yang paling dekat gerbang. Wanita itu membantu Rafa membuka rantai lalu memersilakan Rafa masuk. Wajahnya mulai mengeriput, rambut putihnya tertutup ciput yang sering dipakai ibu-ibu. 

Jadi, dua pintu saling berhadapan dengan dua pintu yang lain. Nah di antara kedua pintu itu, ada jarak sekitar lima meter yang mereka anggap sebagai halaman. Padahal sih, kalau buat jemuran juga sudah sempit. 

"Wah, sudah datang ya, Rafa? Mari masuk dulu." Muncul lagi seorang pria yang mungkin berusia sekitar lima puluh tahun. 

Rafa dari tadi diam saja, wajahnya ditekuk masam. Dia masuk mengikuti kedua orangtua itu ke dalam rumah yang hanya tiga petak. 

Koper Rafa yang besar semakin mempersempit ruang tamu yang hanya berukuran 5x5 meter itu. 

"Kamu naik apa kesini, Nak?" tanya si bapak dengan lembut. 

"Kereta," jawab Rafa tidak bersahabat. Alis Rafa yang tebal mengerut sedari tadi, Rafa bete, Rafa tidak suka tinggal di tempat sumpek seperti ini. Apalagi pas tadi naik kereta, gerbongnya penuh banget! Sampai Rafa harus dempet-dempetan dengan penumpang lain yang notabene pada pulang kerja. 

"Kenalkan, saya yang ngurus kontrakan di sini. Panggil aja saya Abah." Orang yang menyebut dirinya sebagai Abah, berusaha beramah-tamah dengan si tamu ketus yang menampakkan ketidaknyamanannya. 

Rafa hanya mengangguk singkat. 

"Nah, ini istri saya, panggil aja Amah." Abah menunjuk Amah yang keluar dari dapur membawa sayur asem hangat beserta tempe goreng. 

"Kamu pasti capek, kan? Ayok dimakan dulu. Seadanya, mohon diterima yah." Senyum Amah terukir ikhlas memandang Rafa. 

Mata Rafa melirik makanan yang disiapkan Amah, perutnya tidak bisa menolak lagi. Ingat, Rafa, orang tua kamu di sana adalah Amah sama Abah. Sopan santun ke mereka, jaga sikap kamu. Jangan banyak ngeluh. Petuah dari sang papa bergema di otak Rafa. Dia mendecih sendiri. 

"Kamu kenapa? Kok bengong? Gak suka sama makanannya ya?" tanya Abah melihat wajah Rafa semakin merah nahan emosi. 

"Bukan," jawab Rafa singkat. Gengsinya udah hilang berganti lapar. Rafa mengambil piring yang telah disiapkan lalu menyiduk nasi dan makan dengan lahapnya. 

Prioritas hidup Rafa; 1. Cewek cantik, 2. Makanan, 3. Futsal, 4. Tidur. Keempat hal tersebut bisa flesksibel tergantung sikon yang ada hingga yang mana duluan yang harus diutamakan itu terserah Rafa. 

Return Fall [1] : R and DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang