20. Cukup Sampai Sini

11.4K 1.4K 146
                                    

Ada yang berbeda dari latihan futsal kali ini. Selain mendung, yang paling mencolok ialah Rafa tidak satu tim dengan Rafly. Seluruh anggota futsal hanya bertanya-tanya dalam hati, sedangkan Abi dan Ahmad tidak berkomentar sama sekali. 

Bisa dibilang, latihan sore ini termasuk latihan paling kacau karena keduanya—Rafa dan Rafly—  beberapa kali adu fisik. 

"Lo main bisa santai nggak sih?" Rafa sengit kepada Rafly. 

Kesabaran Rafa menipis lantaran Rafly selalu mengincar kaki dan punggungnya untuk ditabrak saat mereka sedang berebut bola. Sudah beberapa kali. Tadinya, Rafa hanya diam, sebisa mungkin melindungi bola agar tidak jatuh kepada Rafly. Malahan, permainan sering diambil alih oleh keduanya. One-on-one tersembunyi.

"Lo-nya kali yang gemulai," balas Rafly cuek. Lelaki itu memutar badan, meninggalkan Rafa yang berkacak pinggang, sebal. 

"Tampol, bego. Biar sadar," bisik Haikal di telinga Rafa. Haikal juga sebal melihat cara Rafly bermain sore ini. Tidak sportif, menurutnya. 

Tangan Rafa terkepal kuat di sisi pahanya. Matanya memandang Rafly geram. 

"Udah! Udah! Yok main lagi!" Abi berusaha melerai percikan api yang mulai panas. 

Permainan kembali berjalan, Rafa dan Rafly semakin mendominasi pergerakan bola. Berlari dari kandang sendiri, ke kandang lawan. Bola di kaki Rafa, berhasil direbut Rafly. Beberapa teriakan menyuruh mereka untuk mengoper bola, tapi diabaikannya begitu saja. 

"Raf! Oper!" teriak Tito yang juga berperan sebagai striker. 

Telinga Rafa terkunci, kepalanya sibuk menguasai bola supaya tidak terambil Rafly. Seakan-akan hanya Rafa yang bisa mengalahkan Rafly. Padahal Rafa kualahan, tapi teman-teman yang ingin membantunya justru tidak ia gubris. 

Akhirnya, bola berhasil direbut Rafly. Secepat kilat dia menggiring bola ke gawang lawan. Tim lawan yang berusaha menghadangnya ia lewati dengan mudah. Rafa terus berlari mengejar Rafly. 

Di depan gawang, Rafly siap menendang bola sendirian. Nyaris saja bola masuk ke gawang. Arif, sang kiper, berhasil membaca gerakan Rafly, sehingga bola bisa ditangkapnya. 

Keluhan mulai keluar dari mulut-mulut anggota yang lain. "Rafa ama Rafly kenapa, sih? Dipikir mereka lagi satu lawan satu, apa? Mainnya egois."  

Ahmad yang paling berani. Dia menyeret Rafa ke tengah lapangan, sementara Abi ikut menyeret Rafly ke tempat yang sama. 

"Apaan sih, lo?!" Rafly mengempaskan tangan Abi dari pundaknya. 

Anggota yang lain mulai mengerubung, membentuk lingkaran. 

"Lo berdua, kalo punya masalah, jangan dibawa-bawa ke pertandingan!" Ahmad membentak keduanya. "Di sini tuh ada temen-temen lo. Main jangan maruk! Futsal tuh permainan tim, bukan permainan individu. Kalau mau one-on-one, cari yang lain sana! Jangan di sini!" 

Dua lelaki itu hanya diam. Rahang mereka sama-sama mengeras. 

"Sabar. Sabar." Abi menengahi. "Kalau lo berdua masih egois, mending cabut dulu sana. Sampai pikiran lo tenang. Kita maunya tim, bukan individu," lanjutnya terdengar santai. 

"Oke, gue minta maaf. Gue nggak bakal main kayak gitu lagi," ucap Rafa pada akhirnya.

"Salaman dulu," tukas Arif. 

Setengah hati Rafa mengulurkan tangannya duluan, tapi setidaknya dia memilih untuk mendengarkan teman-temannya, kan? 

Berbeda dengan Rafly. Dia justru melenggang pergi begitu saja. Membiarkan tangan Rafa terulur tanpa balasan. Dia berjalan keluar kerumunan, lantas pergi ke pinggir lapangan, mengambil tas, pulang. 

Return Fall [1] : R and DWhere stories live. Discover now