Bab V Vaarwel

6.3K 553 1
                                    

Bab V
Vaarwel



Enam puluh Dua Tahun setelah penarikan tentara Belanda dari Batavia

Laki-laki berambut perak itu baru saja sampai di sebuah pusara yang masih baru dan dipenuhi bunga mawar di atasnya. Laki-laki itu lantas berjongkok di samping pusara itu lalu berbicara kepada pusara itu. Air mata terlihat mengalir pelan dari sudut matanya. Sosok perempuan muda yang mengantarkannya itu sudah tak kuat menahan kesedihannya lagi. Ia memilih untuk kembali ke mobilnya. Cucu laki-laki berambut perak itu mengekor di belakang perempuan muda itu. Keduanya ingin meninggalkan kakek tua itu bersama kekasihnya yang telah tiada.

"Kakekku, selama hidupnya, terus mencintai nenekmu. Nenekku yang juga telah tiada tahu itu, dan paham resiko yang ia ambil dengan mencintai laki-laki yang hatinya telah tertawan di sini. Selama bertahun-tahun ia menahan diri untuk tak kembali ke negeri ini, mencari nenekmu, atau mengambilnya dari keluargamu. Ia memilih berdiam diri dan meminta setiap keturunan laki-lakinya demi menggenapi janjinya kepada nenekmu. Kakekku selalu yakin bahwa sampai sekarang masih hidup dan memiliki keyakinan bahwa bila mana aku menemukan keturunan nenekmu, mereka akan saling bertemu kembali. Tetapi aku tak pernah menyangka kalau pertemuan mereka akan jadi sangat menyedihkan seperti ini." Ujar William panjang lebar.

"Nenekku," Sasi mulai buka suara, "juga terus mencintai kakekmu, Will. Binar matanya begitu berbeda ketika ia menceritakan kisahnya dengan kakekmu setiap kali aku hendak tidur. Aku tak tahu bagaimana dengan kakekku. Aku tak sempat mengenalnya karena ia meninggal jauh sebelum aku dilahirkan. Nenekku mungkin hampir putus asa karena selama dua tahun ini aku menolak untuk menemui keturunan laki-laki yang ia cintai dulu. Aku selalu berpikir, bagaimana jika sampai akhir hayatnya aku tetap menolak untuk memenuhi janjinya kepada kakekmu. Mungkin aku akan sangat menyesal dan tak akan memaafkan diriku sendiri."

"Yah, sepertinya nenekmu bahagia di saat-saat terakhirnya dengan melihatku bersamamu di rumah sakit kemarin." William menambahi sambil tersenyum kepada Sasi. Senyuman yang artinya bisa apapun.

Hening sejenak.

"Kau akan pulang hari ini?" tanya Sasi enggan.

"Yeah, aku harus menemani kakek pulang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padanya ketika pulang dari sini dengan keadaan seperti ini." Jawab William sambil tertunduk mengamati tanah di ujung sepatunya.

"Aku akan mengantar kalian sampai ke bandara." Ujar Sasi terdengar tegar.

William menatapnya, ada keinginan kuat untuk tinggal lebih lama di negeri ini demi perempuan di hadapannya itu. Sasi menatap laki-laki di hadapannya itu dengan tatapan sedih karena perpisahan yang menghadang di hadapannya.

"Will,laten wenaar huis gaan!- Will, ayo kita pulang!-" Ujar seorang laki-laki bersuara serak.

Sasi dan William menoleh mendapati kakek William berdiri di depan mereka. Badannya yang menua masih tegap seperti saat ia  masih muda.

"Opa zeker dat u wilt nu naar huis? Het vliegtuig zijn we nog 4 uur rijden! -Kakek yakin ingin pulang sekarang? Pesawat kita masih 4 jam lagi!-" Ujar William.

"Ik kan niet lang blijven hier, Will. Of mijn hart krijgen gebroken. -Aku tak bisa lama-lama di sini, Will. Atau hatiku akan semakin hancur.-" Ujar kakeknya itu. Laki-laki itu kini menatap Sasi. Sasi mengendik membri hormat. Laki-laki tua itu mendekatinya.

"Dan kau adalah, er, cucu dari Laksmi?" tanya kakek William dengan bahasa Indonesia yang terdengar aneh.

Sasi mengangguk. "Ja. Voeren, mijn naam is Sasi. –Ya. Perkenalkan, nama saya Sasi.-"

MELINTAS MASA [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang