PROLOG

21.5K 323 7
                                    

PROLOG

“Apa kabar si calon mempelai perempuan malam ini?”, tanya laki-laki setengah baya yang berdiri di ambang pintu kamar bernuansa beige. Laki-laki itu bernama Galang. Ia sedang menatap Kimmy sambil senyam-senyum.

Kimmy melihat ayahnya itu mendekat, dengan mulutnya yang bergerak-gerak mengunyah dan pipi yang sesekali menggembung di kanan, lalu berpindah ke kiri. Ia mempermainkan apa yang sedang dikunyahnya saat ini.

“Papa makan apa?”, tanya Kimmy dengan kening berkerenyit, sambil melirik deretan kuku kaki dan tangannya yang sudah terlihat sempurna sejak ia keluar dari salon, tadi sore.

“Apel merah yang maniiiis sekali…”, sahut Galang. Ia masih mengunyah. Dan beberapa kunyahan kemudian, tenggorokannya bergerak-gerak, memperlihatkan sesuatu yang meluncur turun di situ. Lalu mulutnya berhenti mengunyah. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas, memulas senyuman lebar. Matanya menatap lurus lagi pada Kimmy. Terkesan "sesuatu"...

“Kenapa Papa lihat aku kayak gitu?” Kimmy bersuara lagi sambil mengelus-elus kulit lengannya yang terasa halus.

Galang bergerak duduk ke tepian ranjang. Ia menatap anak semata wayangnya itu dengan mata haru bercampur risau. “Papa merasa senang sekaligus… sedih", sahutnya sambil menghela nafas panjang.

“Kenapa?” Kimmy menyahuti sambil mengibas rambut panjangnya ke belakang. Lalu membelai helaian rambutnya itu dengan perlahan. Ia tampak menikmati apa yang dilakukannya sekarang, dengan raut takjub. Mata bulatnya semakin membesar seakan berteriak "Waw!", lalu mengerjap-ngerjap seakan memekik, "Wuih!". Kemudian ia menatap mata Galang seraya berbisik, "Papa, aku mewarisi rambut mama yang waw dan jemari tangan papa yang wew... ehehe..." Ia mengerling pada Galang sambil menyambung, "Aku baru ngerti kenapa muka Papa rautnya kayak gini, nih", ia menunjuk ke wajahnya sendiri, "waktu membelai rambut Mama..."

Galang menemplak kening Kimmy dengan pelan. "Gak gitu-gitu amat, deh!", protesnya. Tetapi kemudian, wajahnya sedikit merunduk dan terlihat serius. “Kamu… hanya akan mengingat suami kamu nantinya. Dan lupa, deh… sama papa”, katanya. “Tapi papa bahagia asal kamu bahagia…”

“Alaaaah”, Kimmy menyahuti sambil mengibaskan tangannya, “bahasa Papa klise, deh. Papa jelas gak akan beneran ikut hepi, kalau aku beneran lupa sama Papa…”

Galang tertawa mengekeh. “Baiklah”, katanya, “papa mencoba terlihat tulus. Dan kayaknya, gak berhasil, ya?”

Kimmy menggeleng. “Enggak. Sedikitnya, Papa menyiratkan kecemburuan. Takut kalah saing dengan Ruben, kan?”

Galang tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Ahahaha… baiklah, begitu bunyi pikiran papa sebetulnya…”

“Papa jangan khawatir, ya”, kata Kimmy sambil mencubit pipi kiri ayahnya. Dan menyambung dengan mencubit pipi kanannya. “Papa gak usah pakai acara bersedih hati nantinya, karena aku akan selalu kangen sama Papa…”, sambung Kimmy.

PLOK PLOK PLOK! Galang bertepuk tangan tiga kali. “Amin!”, katanya. “Percayalah, papa adalah tempat curhat terbaik buat kamu!”

“Papa nomor tiga!”

“Ah?”

“Tuhan nomor satu, Ruben nomor dua, pa. Aku harap, Papa gak suruh aku membuat pilihan menuruti apa yang Papa suka…”

“Ah, hanya beberapa kali, kok…”, sahut Galang, “salah satunya… ya, mendukung kamu menikah dengan si Ruben… ehehe…”

“hm…”, Kimmy bersuara sambil mendelikkan matanya, “karena dia punya hobi yang sama dengan Papa!”

“Wah, papa ketahuan rupanya”, sahut Galang sambil menimpukkan satu bantal kecil ke arah Kimmy. PLUK!

Kimmy menjerit lalu menyambar bantal itu dan menimpukkannya kembali ke arah Galang. “Aku gak suka hobi Papa yang satu ini!”, pekik Kimmy, “suka iseng!”

“Ahahahahaha…” Galang tertawa dengan kerasnya sambil menimpukkan bantal itu kembali ke wajah Kimmy hingga membuat bagian depan rambutnya jadi berantakan.

“Ih!”, dengus Kimmy. “Papa, setoooop!”

Galang pun mengangkat kedua tangannya ke atas, tanda menyerah. “Papa kalah”, katanya, “kamu menang karena papa mengalah. Ingat itu, ya…” Ia mengacak-acak rambut Kimmy lagi, membuat Kimmy kembali menjerit. “Papa!”, pekik Kimmy, “rambutku jadi berantakan lagi!”

“Ah!”, sahut Galang sambil mengibaskan tangan. “Toh, pestanya besok! Besok bisa ditata lagi!” Ia melangkah ke pintu sambil melambaikan tangannya. “Istirahat, ya!”, katanya sambil mengayunkan pintu kamar untuk menutup kembali.

BLAM.

Kimmy terdiam. Suasana kembali hening. Ia menoleh ke sampingnya. Sebuah buku novel yang baru saja didapatkannya, tergolek manis di situ. Begitu menggodanya agar ia cepat-cepat membuka dan membacanya…

Kimmy pun membuka halaman yang pertama…

***

TIK TIK TIK…

Bunyi jarum jam di dinding, terdengar begitu nyata. Andrea menyentuh tepian meja yang terasa padat. Itu pun terlihat nyata. Ia menggerek tangannya ke tengah meja makan dan meraih sebuah apel merah. Dan apa yang sedang dipegangnya itu, juga terasa nyata. Kemudian ia menemukan noda lipstick di satu bekas gigitan pada apel itu. Andrea menahan nafasnya. Ia berharap, yang satu ini tidaklah nyata…

Bukan gigitan Ruben, ia membatin, karena Ruben gak pakai lipstick. Dan yang pasti, bukan bekas gigitanku karena aku baru aja sampai ke sini jam sembilan tadi.

Andrea melirik jam dinding kembali. Waktu sudah menunjuk ke tengah malam. Ia mengangkat telepon genggamnya dan mulai berbicara, “Sayang, kamu ada di mana sekarang?”

Ia terdiam sebentar dan tampak mendengarkan. Lalu bersuara kembali, “Kamu yakin? Lagi main game sama Arnold di apartemen kamu?” Suaranya sudah terdengar gemetar. “Apa Arnold suka pakai lipstick menor di bibirnya? Dan apakah kamu maupun Arnold bisa menghilang? Sehingga aku gak bisa lihat kalian… karena aku ada di apartemen kamu sekarang.”

Andrea mengambil apel di atas meja dengan satu tangannya lalu mendekatkannya ke hidungnya. Ia mengendus aroma lipstick pada bekas gigitan di apel. “Sayang, aku mencium aroma khas lipstick di satu bekas gigitan pada sebuah apel di atas meja makan kamu. Ini adalah lipstick Alila”, katanya. Kemudian ia menjauhkan apel itu dan meletakkannya kembali ke atas meja. Lalu dengan satu tangannya lagi, ia mengorek noda lipstick pada bekas gigitan itu seraya berkata, “Lipstick ini akan mengering pada permukaan bibir dalam kurun waktu dua jam setelah pemakaian, sehingga seharusnya tidak melekat pada apel. Berarti, dia menggigit apel ini di saat ia baru saja memulas lipsticknya. Kalau ia memakai lipstick di rumahnya, sesampainya di sini, pasti lah lipsticknya itu sudah mengering karena lamanya perjalanan di sore hari yang macet, yang bisa memakan waktu sekitar dua jam untuk sampai ke tempat kamu ini. Lucunya, jam enam sore aku telepon Alila dan dia bilang mau pergi ke tempat pacar barunya. Kamu kah itu, sayang? Apa sih, yang membuat lipstick Alila bisa sampai terhapus, sehingga dia harus memulasnya lagi di dalam apartemen kamu ini?”

Andrea mulai mengerjap-ngerjapkan matanya lalu sebulir bening berkilauan, menitik turun dari pelupuk matanya itu. Ia terdiam lagi, tampak mendengarkan lawan bicaranya di telepon genggam.

“Apa kamu gak punya alibi lain”, Andrea bersuara lagi, “untuk membuktikan kalau kamu gak menghabiskan waktu bersama Alila, sejak jam delapan tadi sampai sekarang?”

Andrea mengingsut cairan di hidungnya yang mulai basah sambil menyambung perkataannya, “selain alibi kalau kamu dan Arnold mendadak bukan di apartemen lagi, melainkan sedang bermain golf di club sejauh tiga jam perjalanan? Sayang… ini tengah malam. Apa kamu lupa, kamu gak bisa membohongi seorang anggota club detektif meskipun dia masih amatiran?”

***

Gigitan PertamaWhere stories live. Discover now