-- Augustine --

19 0 0
                                    

Diana Clarington mengedikkan mata dan aura lain memasukinya, aku tidak yakin dengan pribadi yang lain. Apakah Enigma? Dr.Welsh bersiap-siap dan aku menunggu dengan penuh ketegangan.

“Hey,” sapanya tersenyum. Aku merasakan keteganganku dan Dr.Welsh memudar. Matanya berkedip dan menopang dagunya. Tiba-tiba ia berdiri dan akan berjalan keluar dari ruangan sebelum aku menghentikannya.

“Diana! Kau mau kemana?” tanyaku tiba-tiba. Ia berhenti dan memutar badan.

“Bersenang-senang, silly. Hidup hanya sekali, kau harus menikmati setiap detiknya,” jawabnya sambil memperlihatkan giginya. Ia menyibakkan rambutnya dan meraba lehernya, memperlihatkan kebosananya. Tiba-tiba ruangan itu dipenuhi feromon.

“Siapa kamu?” tanya Dr.Welsh.

“Kau gila? Aku Diana Clarington. Aku lahir dan tumbuh besar di St.Luciana, tidakkah kau sadar ini aku?” tanyanya dengan sarat mata nakal dan melihat melalui bulu matanya. “Hey, aku bosan oke? Kau tidak akan melarangku berjalan menikmati hidup kan?”

Aku dan Dr.Welsh saling pandang, sebelum Dr.Welsh memutuskan untuk memenuhi permintaannya. Tetapi dengan ketentuan bahwa kami akan ikut dengannya.

Diana tertawa, “Dan kenapa aku harus mau diikuti oleh kalian? Aku tidak butuh dua bodyguard menemaniku, tanpa adanya keuntungan yang kudapatkan dengan—“

“Maksud kami adalah kami mengajakmu makan malam di Mount Dupoint karena aku sedang berulang tahun, Diana. Kau lupa ya ini ulang tahunku?” tanyaku berbohong. Tampaknya Diana yang satu ini tidak sadar bahwa kami sedang dalam sesi terapi dan menganggap Dr.Welsh dan aku adalah teman biasa yang bertemu dalam satu ruangan.

Aku lupa memberi tahu bahwa ruangan terapi Dr.Welsh bukanlah ruangan kaku yang berisi tempat tidur putih beserta obat-obatan yang terpampang dalam lemari putih berkaca. Ruangannya bukanlah tipikal ruangan untuk orang sakit jiwa yang sering kau lihat di televisi, ruangannya diisi dengan buku-buku ringan sampai berat dan diiisi furniture bernuansa kayu. Sangat nyaman, katanya ini untuk lebih menstimulasi mereka dengan gangguan psikologis merasa aman dan tidak penuh tekanan. Tetapi tentu saja akan ada satu pintu yang berisi ruangan putih mengerikan itu dengan alat-alat kejiwaannya, tetapi Diana tidak perlu tahu.

“Oh! Maafkan aku temanku, aku hanya ingin membeli kado untukmu makanya aku tidak mau kalian ikut. Tapi kalau sudah begini, yasudah. Mount Dupoint kan? Tentu! Tentu! Temani aku belanja, manis. Aku harus beli baju sebelum – oh, apakah kau juga mau ikut kami wanita belanja?” pandangan Diana mengarah kepada Dr.Welsh yang tidak memakai baju putih tipikal dokter.

“Oh tidak aku tidak akan ikut kalian belanja. Tetapi aku juga ingin membeli buku untuk studi teori pengembangan otak manusia, Diana. Kita dapat sama-sama pergi ke downtown mendapatkan kado dan baju yang kau perlukan!” jawab Dr.Welsh lancar seakan ini sudah menjadi bagian dari rencana.

Sweet! Ayo kita pergi!” seru Diana riang menarik lenganku kuat-kuat.

Dalam perjalanan Dr.Welsh berbisik kepadaku cepat bahwa ia tidak akan lebih jauh dari sepuluh meter mengikuti kami dan memintaku untuk berteriak atau menelponnya apabila ada hal aneh terjadi. Aku mengangguk dan melambaikan tangan terhadap Dr.Welsh yang pura-pura memasuki toko buku dan mencari Theory of Mysterious Human Mind by Carl Jackson.

*

Makan malam di Mount Dupoint nampaknya menggembirakan hati Diana dan ia berdandan sangat cantik, aku nyaris tidak mengenalnya saat ia memakai cocktail dress abu-abu Armani Exchange dan sepatu Prada merahnya. Ia menarikku pulang ke rumahnya dan menemukan banyak branded goodies yang tersembunyi di bawah tempat tidur dan belakang lemari baju Diana untuk memasangkan tas Miu-miu berdetail rantai emas untuk dicocokkan dengan sepatu barunya yang seharga $200. Ia tidak lupa juga menutupi wajahnya dengan polesan bibir merah dan eyeshadow smokey yang mendukung seluruh penampilannya.

Diana ClaringtonWhere stories live. Discover now