-- Vania --

17 0 0
                                    

Diana, maksudku Vania menarik ikat rambut dari kantong celana jeans dan mengikat rambutnya ke belakang. Ia tampak bosan dan malas berbicara.

Aku memberanikan diri menyapanya, “Hai, Vania. Aku Emily. Teman baik Diana, senang berkenalan denganmu.”

Vania melihatku sekilas dan mengangguk sedikit.

“Apa yang kalian lakukan tadi? Apakah Diana baru saja diinterogasi?” tanya Vania memecah tatapan kosongku.

“Aku hanya menanyakan sedikit tentang ingatannya. Aku berharap bisa membantunya menerima dan berdamai dengan masa lalunya,”jawab Dr.Welsh. Apakah hal ini mengganggumu?”

“Tidak. Sebenarnya aku tidak perduli, kau tahu. Aku bukan Diana dan aku tidak tahu masalahnya. Yang kutahu, tubuh ini sering termutilasi dan aku selalu muncul saat Diana mulai panik atau nervous,” jawabnya sambil menaikkan bahu.

“Apakah yang bisa kamu katakan tentang Diana, Vania?”

“Yah, dia oke sih. Aku sering berbicara dengannya lewat jurnal, kau tahu kan? Waktu itu kau pernah menyarankan begitu. Awalnya aku malas, tetapi Diana sering menulis jurnal untukku. Dia bilang dia berterima kasih karena aku selalu membantunya saat ia dalam situasi seperti ini. Ia tampaknya socially nervous, dan aku selalu muncul saat dia sedang krisis.”

“Apakah kamu menyukainya?”

“Diana? Yah, tidak benci juga. Dia pernah menulis di jurnal menanyakan film apa yang kusuka atau masakan favoritku. Lalu aku sering menemukan mac and cheese yang bisa ku-microwave di kulkas atau tiba-tiba ada DVD Horror di dalam tumpukan belanjaannya,” katanya santai sambil menarik nafas keras seperti sesuatu tersangkut di hidungnya.

“Maukah kau membantu kami? Kami yakin bahwa kalian, pribadi Diana yang lain membagi kenangan kalian bersama yang bisa menunjukkan masa lalu Diana agar ia dapat memaafkan dirinya. Kau bisa ingat memori pertamamu?,” tanya Dr.Welsh hati-hati.

Vania menaikkan alisnya dan melipat tangannya.

“Demi Tuhan, aku hanyalah seorang remaja dan aku tidak setua itu untuk ditanyakan mengenai kehidupan pribadiku,” tolaknya ketus.

“Berapa umurmu?”

“Delapan belas, dan maaf aku punya hal lebih baik untuk dilakukan daripada mengurusi pembicaraan lemah hati ke hati.”

“Bagaimana kalau kukatakan kau bukanlah remaja lagi?” tanya Dr. Welsh tenang, siap menerima protes.

Hello? Aku baru saja putus dengan Ryder si playboy kacangan itu karena tampaknya aku tidak cukup cantik. Lihat aku, dok; aku belum menikah dan tidak pernah ingat untuk lulus dari sekolah tinggi. Jadi aku tidak mungkin sudah bekerja,” jawabnya merengut, menunggu serangan berikutnya.

“Lalu dimana orangtuamu kalau kau belum cukup umur untuk pergi sendirian?”

“Aku lari dari rumah. Itulah yang kuingat,” katanya sombong.

“Mengapa kau lari dari rumah?”

“Yah biasalah. Orangtua tidak akan pernah mengerti dirimu, memperlakukanmu seenaknya, tidak ada yang mengerti diriku. Aku sendirian, kau tahu? Why I’m telling this?” katanya sarkastik sambil geleng-geleng tak percata.

“Vania, lihatlah aku. Lihatlah kami,” kata Dr.Welsh seraya melirikku sekilas sebelum meluruskan pandangan lagi dengan Vania-Diana, “kami adalah orang yang bisa kau percaya. Kami akan membantu kamu sebisa mungkin. Kami tahu kau butuh teman berbagi dan kami akan disini menjadi temanmu. Apakah kau setuju?”

Tangan Vania mengetuk-ngetuk meja kayu sambil menganalisa Dr.Welsh dan aku bergantian. Nampaknya Vania lebih menyimpan ketertarikan padaku daripada Dr.Welsh.

“Kau benar teman baik Diana?” tanyanya.

“Begitulah. Maksudku, ini pertama kali bertemu dengan Diana setelah bertahun-tahun, Aku bukan Diana-expert tetapi aku ingin membantunya” jawabku.

“Kau mungkin teman baik Diana, tetapi aku bukan temanmu. Jadi kau simpan muka simpatimu itu karena pada dasarnya kita tidak saling mengenal. Maaf kalau terdengar tidak sopan, tetapi aku butuh waktu untuk mengenal kalian berdua.”

“Baik, maafkan aku. Aku hanya sedikit kaget karena Diana yang kukenal tiba-tiba terganti oleh dirimu,” jawabku jujur.

Aku sedikit terkejut melihat identitas Diana yang lain, Vania. Jelas sekali bahwa identitas ini lebih kuat dari Diana, dan ini adalah identitas kedua Diana yang muncul apabila ia merasa tegang, seolah ingin melarikan diri. Kepribadian Vania kerap muncul tetapi hanya selang beberapa jam. Setelah kupelajari, Vania terlihat emosional dan dingin tetapi dia jujur dan mandiri. Setelah beberapa kali sesi terapi, aku sadar bahwa Vania mungkin terlihat ketus dan sedikit labil seperti remaja yang menginjak masa puber tetapi ia mempunyai inisiatif yang sangat tinggi dan dapat bekerjasama dengan baik denganku dan Dr.Welsh dari waktu ke waktu. Ternyata Vania punya bakat seni yang tinggi. Ia sering membuat tulisan atau lukisan dan bercita-cita untuk menjadi orang mandiri yang hidup dengan tuangan visi dia dalam tulisan dan lukisan. Aku melihat sendiri beberapa lukisannya, yang didominasi warna merah dan kuning, memperlihatkan kobaran keberanian dan keinginan kuatnya. Aku tidak heran mengapa Diana menyayangi Vania. Sedikit demi sedikit Vania menurunkan tamengnya dan tidak se-defensif seperti saat kami pertama kali bertemu dengannya.

Dalam sesi-sesi terapinya, Dr.Welsh selain membangun keakraban; ia juga sering meminta Vania menceritakan kehidupannya yang disinyalir antara reprokasi kenyataan yang sesungguhnya dengan realitas yang dipercaya Vania. Menurut Dr. Welsh, karena banyak lubang atau time gap, Vania mendeduksi apa yang terjadi dan menjadikan itu realita dirinya. Tetapi ada kebenaran di dalam realita imajinasi Vania. Contohnya bagaimana Vania berkata ia melarikan diri dari rumah karena sering bertengkar dengan orang tuanya. Bagi Vania, tuntutan kebebasannya-lah yang mendorong ia berani melarikan diri, tetapi begitu ditanya tentang apa perkelahiannya Vania mengaku karena perbedaan prinsip orangtua Vania yang terlalu mengekang. Dr.Welsh menanyakanku tentang kehidupan Diana yang sesungguhnya saat masih bersekolah. Aku berkata bahwa di tengah-tengah masa sekolah tinggi, aku pindah ke New York dan sempat mendengar kabar Diana melarikan diri dari rumah tanpa sebab yang aku mengerti mengapa.

Tiba-tiba teringat perkataanya saat kami sampai di terminal St.Luciana beberapa hari lalu.

“Emily, aku ingin kau mengenal pribadiku yang lain. Aku tahu otakku sudah rusak dan sulit diperbaiki tetapi aku ingin kau tetap menjadi temanku walaupun aku sudah bukan Diana yang kau kenal lagi,” katanya.

“Aku ingin sekali berteman dengan dirimu yang lain, Emily,” kataku mengangguk. Kami berpelukan dan tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku sadar betapa Emily yang dulu kuingat berlari dari kenyataan.

Diana ClaringtonWhere stories live. Discover now