-- Billy Johnson --

29 1 0
                                    

Seorang bocah kecil yang tertawa dan terlihat senang sekali melihat koleksi kapal dan pesawat terbang keluar dari diri Diana Clarington. Ia menatapku sambil tersenyum dan menghampiriku dengan ceria. Gaya bicaranya ringan dan meluap-luap penuh semangat, aku tidak bisa tidak mengingat inilah sosok Diana Clarington saat ia masih berumur tujuh tahun. Ia menatapku dengan senyum lebar, seperti menungguku balas tersenyum. Aku memaksakan diri tersenyum.

“Halo, siapa namamu?,” tanyanya riang.

“Emily. Emily Clarkson,” jawabku.

“Billy Johnson,” katanya mengulurkan tangan. Aku menjabatnya. Auranya sama sekali berbeda dengan saat aku menjabat tangan Diana di dalam kereta. Billy menatapku lama sekali seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

“Ada apa Billy?” tanyaku ramah.

“Kau, mirip sekali dengan kawanku Emma tapi tentu saja ia berumur tujuh tahun. Aku bisa sangka kau ibunya,”

“Apakah Emma temanmu, Billy?”

“Emma adalah teman baikku! Walaupun dia sering menangis dan memaksaku membawa boneka-bonekanya ke rumah pohon. Padahal, aku ingin sekali menjadikan rumah pohon itu tempat lepas landas koleksi pesawat terbangku! Kalau kamu tidak menurutinya, dia pasti ngambek dan tidak mau membantuku mendorong ayunan,” ceritanya dengan senyum lebar.

Aku sudah lupa. Aku baru ingat kembali setelah Billy menceritakannya bahwa kemungkinan besar Emma yang ia maksud adalah diriku saat kecil yang gemar bermain boneka dan sering kesal mendapati Diana yang tomboy lebih memlilih bermain kapal atau pesawat terbang. Hal ini sejenak membuatku bernostalgia. Billy adalah pribadi Diana yang pertama kali kukenal, ia adalah identitas Diana yang terjebak dalam masak kanak-kanak.

“Emily, ayo bermain denganku!! Di kamarku banyak mainan,” katanya seraya menarik tanganku. Aku mengikutinya masuk ke kamar tidur Diana yang bernuansa biru muda itu, dengan terus menatap Billy yang menarik kotak mainannya dan mulai membongkar.

*

“Diana, kami akan mencoba berbicara dengan identitasmu yang lain. Bisakah kau ingat memori pertamamu?,” tanya Dr.Welsh, seorang therapist Diana yang unggul dalam bidang psikologis ganda. Dalam penjabarannya, beliau menjelaskan padaku tentang Multiple Identity Disorder yang sedang dialami Diana bertahun-tahun.

Sejauh yang aku tangkap, berkepribadian ganda Diana merupakan salah satu bentuk dia bertahan hidup. Dalam masa kanak-kanak, ada tendensi psikologis yang membuat anak-anak yang trauma untuk melupakan kejadian buruk yang menimpanya. Akan tetapi karena Diana terus-menerus menjalani penganiayaan, psikologinya terpecah menjadi berbagai kepribadian karena konflik batin yang ia alami sangat hebat. Hal ini yang membuatnya setiap pribadi yang ada di dalam terpecah menjadi pribadi individual yang mengambil alih raganya. Sama seperti bila kau melihat dompet yang jatuh dan, ada sedikit suara di kepalamu berbisik untuk mengambilnya bukan mengembalikannya. Saat itu seperti ada dua orang dalam dirimu yang saling mendebat. Akan tetapi, untuk kasus Diana; perdebatan ini sangat hebat dan keras sampai terpecah menjadi identitas yang benar-benar baru. Saat personalitas utama lemah, akan nada identitas lain yang lebih kuat masuk ke dalam diri Diana. Cara ini lah Diana bertahan hidup dan mengubur semua ketakutan dan penderitaanya sejak kecil.

“Aku ingat saat aku masuk sekolah menengah pertama dengan Emily. Kami berdua cukup tegang menghadapi hari pertama sekolah di Valerie High School,” katanya Diana menerawang.

“Apakah kau ingat memorimu jauh sebelumnya?” tanya Dr.Welsh.

“Aku… ingat dulu --,” ucapannya terputus dan matanya tertutup, seperti orang yang tiba-tiba tertidur.

“Diana? Kau masih bersamaku?” tanya Dr.Welsh. Aku mengawasi.

Diana membuka mata dan sedikit menaikkan dagunya. Ia menarik rambut panjangnya ke belakang telinga dan menyilangkan kaki. Tatapannya memandang kami dengan penasaran, tetapi sesaat dia melepas nafas panjang.

“Si penakut Diana lari. Aku Vania.”

Diana ClaringtonWhere stories live. Discover now