[2] - Villa

633 42 2
                                    

Tak sampai sepuluh menit, travel berhenti di sebuah bangunan tua-yang sepertinya merupakan villa.

Mereka sedikit terkejut ketika melihat seorang pria tua-yang tampaknya pelayan-sedang menyapu halaman di malam salju. Tak mau ambil pusing, mereka langsung menuruni travel dan membantu supir menurunkan barang bawaan mereka-yang menurunkannya dengan badan gemetar.

Daffa menyikut Adhan untuk memberikan bayaran ke supir. Adhan memutar bola matanya dan merogoh dompetnya, mengeluarkan beberapa lembaran uang.

"Take it." ucap Adhan singkat menaruh lembaran uang tersebut di tangan si supir.

Supir itu tersenyum panik. "Thank you, boy. Be carefull."

Adhan mengerutkan keningnya, hati-hati? Untuk apa?

Lagi-lagi, Adhan bukanlah seseorang yang ingin memperumit masalah. Pria ini bergabung dengan yang lain, membantu memasukkan barang bawaan ke villa-juga dibantu pria tua tadi.

Sementara Fanny, gadis ini diam. Giginya menggigit bibir bawahnya. Tangannya mengepal, kedua kakinya gemetar. Wajahnya memerah, seperti kedinginan, padahal gadis ini sudah memakai syal dan sweater.

Chika yang pertama kali menyadari hal itu. Gadis ini segera menghampiri Fanny, digenggamnya tangan gadis itu yang ternyata panas.

"Aw, Fan, lo kenapa?" ucap Chika cemas mengguncang bahu Fanny.

Fanny bergeming. Matanya melirik kanan-kiri, atas-bawah, sama sekali tak memandang Chika.

"Fanny! Sadar!" pekik Chika lagi, mengguncang tubuh Fanny lebih keras, dengan guratan cemas yang semakin tampak.

Fanny tak dapat mendengar semua pekikan Chika, ketika ketakutan ini melandanya. Bukannya mendengar, kupingnya justru mendenging. Dan berterima kasihlah pada indra keenamnya, yang merupakan sumber dari segala ketakutannya.

Sudut pandang Fanny, jelas berbeda dengan yang lainnya. Villa itu dari awal memang menyeramkan, tapi bagi Fanny, ini lebih dari sekedar seram. Ini mengerikan.

Arwah-arwah memenuhi setiap sudut villa, dengan wajah-wajah mengerikan. Menatapnya sekaligus teman-temannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Tak ada pembantu, yang ada hanyalah mayat, atau bisa dibilang, zombie!

Fanny bahkan tak mampu melihat zombie itu lebih lama. Zombie itu sangat menyeramkan, matanya tercongkel satu, kulitnya mengelupas, satu tangan patah, dan darah terus mengalir.

Entah bagaimana zombie itu bisa mengelabui teman-temannya. Yang jelas, tidak untuk Fanny.

Ketakutan itu tak berkurang, namun justru bertambah, suara itu terus berdenging di telinganya. Tidak jelas.

Sedangkan pada kenyataan, Chika terus memekikkan nama Fanny, dan akhirnya menyerah dan memanggil Daffa.

"Daffa! Daffa! Siapa aja, tolongin!" pekik Chika.

Daffa yang mendengar pekikan Chika, langsung melempar tas ransel yang dibawanya ke Nesya. Membuat gadis itu mengumpat Daffa berkali-kali. Namun setelah itu, Nesya ikut berlari menyusul Daffa, juga yang lain yang berlari ke arah Chika yang terus-terusan mengguncang tubuh Fanny.

Daffa terbelalak melihat kondisi Fanny, dan langsung mengambil alih posisi Chika. Daffa berada di sampingnya, mengguncang tubuh Fanny dengan kecemasan yang jelas.

"Fanny! Lo ga apa-apa? Ini gue, Daffa!"

Satu kata terakhir yang jelas terdengar di telinga Fanny, mampu membuat gadis itu menoleh.

Riddle House [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang