3. Re-Publish

21.2K 985 45
                                    

Abaikan Typo bertebaran

Happy reading



Sandya

Kepergiannya memang sudah lama aku ketahui, namun aku tidak pernah mengira akan secepat ini. Masih terbayang kebersamaan kami yang begitu manis, meskipun hanya sekejapan mata. Dia yang sudah membuatku berubah, menjadikanku tak ragu lagi untuk menutup auratku dengan cara yang benar sesuai agamaku. Menjadikanku seorang gadis yang biasa-biasa saja menjadi seseorang yang lebih percaya diri dan optimis dalam menjalani segalanya.

Dia pria yang sangat baik, yang mau menjaga dan melindungiku. Dia selalu mampu membuatku mengerti arti sebuah kasih sayang yang tulus dari seseorang hanya untukku. Aku pernah berfikir sangat yakin bahwa dialah imam masa depanku, yang akan memimpin keluarga kecilku kelak. Namun ia ternyata lebih disayang Tuhan-Nya.

"Sejak kapan? Kenapa kamu menyembunyikannya dariku?" tanyaku, dia baru saja menjemputku dari kampus ketika secara tidak sengaja melihat catatan medis mengerikan itu di dashboard mobilnya.

"Maafkan aku, aku hanya tidak ingin kamu sedih." jawabnya lemah.

Aku hanya mampu memandangnya dengan pikiran berkecamuk, bahkan airmatakupun seakan tidak mampu keluar. Rasa sesak menghantam dadaku seolah terhimpit batu besar, rasanya sakit dan sungguh sangat ingin segera ku akhiri. Yah, selama ini dia selalu terbuka tentang segalanya padaku tetapi tidak sekalipun dengan yang satu itu. Jadi dia menganggapku apa, bahkan kemarahanpun rasanya percuma saja aku umbar.

"Danang, setidaknya ada aku untukmu berbagi," kataku sambil menatapnya sayu.

Apa kamu mampu membayangkan bagaimana perasaanmu begitu tahu kekasihmu, calon suamimu, telah divonis dokter menderita kanker hati stadium lanjut? Rasanya duniaku gelap seketika, rencana indah yang telah kami bangun seolah tinggal puing tak berbentuk. Aku tidak bisa membayangkan hari-hariku tanpa dirinya, tanpa senyum dan tawanya, dan pernikahankupun terancam tidak akan terlaksana. Sanggupkah aku mengubur masa depanku bersamanya?

"Maafkan aku, San," lirihnya, dan pertahanankupun jebol. Aku menangis dengan hati hancur, tidak sanggup menatap wajahnya. Aku masih belum bisa menerima kenyataan mendadak ini, dia yang terlihat sehat dan segar bugar, tapi ternyata didalamnya begitu menderita. "Semua akan baik-baik saja."

"Semuanya akan baik-baik jika kamu berterus terang padaku,"

Tanganku seakan tak sanggup lagi mengusap air bening di sudut mataku dan membuat kabur pandanganku. Bahkan kata-kata penghiburannya serasa ribuan jarum yang sengaja ditusukkan ke dalam jantungku. Sakit sekali seolah seseorang memaksa mengeluarkan jantungku dari tempatnya. Apa aku sanggup kehilangan dia suatu saat nanti, aku sudah kehilangan ibuku, dan aku sungguh belum siap untuk melihat kepergian seseorang yang teramat aku sayangi lagi...Ya Allah, mengapa aku begitu su'udzon atas segala rencanamu?

"Aku ikhlas menjalaninya, dan kamupun harus begitu." Hiburnya seolah setenang air telaga.

Setelahnya aku memang sanggup mengikhlaskannya, meski butuh waktu sangat lama untuk belajar menerima jika suatu saat ia pergi dariku selamanya. Yah, aku belajar menjadi orang yang optimis seperti yang selalu diajarkannya, karena kita memiliki tuhan untuk bersandar dari segala kesedihan dan kehilangan. Bahkan akupun harus ikhlas menerima amanah terakhirnya, sesuatu yang tak kuduga ia pinta dariku. Aku harus rela menikah dengan orang lain, tanpa boleh menolaknya.

Sejak makan malam dengan Mahesa Hadiwijaya dengan kehadiran rasa baru namun salah dalam hatiku, aku sudah sepenuhnya membuangnya. Semenjak cincin itu tersemat di jariku, sejak itu pula aku belajar lagi untuk mencintai Danang sepenuh hatiku. Aku bersyukur karena tuhan ternyata masih mau menjaga hatiku, memberiku kesempatan untuk mempertahankan seseorang yang begitu mengerti diriku. Sesuatu yang akan aku sesali seumur hidup jika dulu aku bersikeras tidak akan mempertahankannya. Namun ia juga sudah tidak ada ketika acara wisudaku, tidak menyaksikan kelulusanku, tidak memberikanku buket bunga indah seperti yang dulu telah dijanjikannya karena akulah yang harus mendatanginya dengan menaburkan bunga di atas pusaranya dan sekali lagi harus menangis mengingat dia yang tak akan lagi aku lihat.

Bukan Pernikahan Sandiwara (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang