04.

1.1K 113 20
                                    

Tari bangun dengan hati riang gembira. Pundaknya terasa ringan dengan dada yang terasa lega. Dia bangkit dari kasurnya sembari bersenandung kecil. Tak terasa bibirnya terus mengulas senyum padahal biasanya setiap dia bangun tidur, alisnya mengerut.

Tari masuk ke dalam kamar mandi lalu tercekat saat bayangan dirinya di cermin tampak begitu cerah.

Dia menepuk pipinya sendiri. "Tar, harus respect! Keluarga lo lagi ditimpa masalah!" monolognya sembari mengubah ekspresi menjadi cemberut.

Tiga detik dia mempertahankan ekspresi itu, tetapi di detik keempat bibirnya kembali mengulas senyum, membuat Tari menepuk pipinya kembali. "Ayo sedih!" katanya dengan semangat sembari cekikikan sendiri seperti orang gila.

Dia akhirnya menyerah dan meneruskan aktivitasnya meski dengan wajah ceria.

Setelah beres dengan urusan tampilan, Tari mematut dirinya sekali lagi di depan kaca. Memperhatikan wajahnya yang tampak segar hari ini. Dia mengambil parfum dan menyemprotkan sekali ke tubuhnya.

Tak perlu memakai banyak sebab suasana hatinya sudah baik.

Sebelum keluar kamar, Tari melatih ekspresinya untuk sedih. Jika dia keluar dengan senyum merekah bisa-bisa dilempar piring cantik oleh bapak ibuknya.

Setelahnya Mentari turun ke bawah untuk sarapan. Hari ini Gauri tak memasak, sebab di meja hanya ada beberapa kotak bubur yang Tari tebak dibeli dari tukang bubur keliling.

"Panggil adikmu untuk sarapan," ujar Rahman kepada Tari.

Tari melirik ke arah ibunya yang tampak tak bergeming mendengar ucapan Rahman. Gauri masih tampak kesal, tapi sepertinya sudah diperingati Rahman untuk tidak membuat kekacauan di pagi hari. Jadi ibunya itu hanya diam saja melahap buburnya.

Tari pergi ke kamar Tara. Ternyata sang empu berada di depan kamarnya tampak mondar-mandir di depan pintu. Mungkin bimbang antara diam di kamar saja tapi membuat kedua orang tuanya semakin marah, atau turun ke bawah menghadapi suasana tak mengenakkan di meja makan.

"Bapak nyuruh makan, Dek," ujar Tari yang membuat Tara mendekat ke arah kakaknya itu.

"Tapi aku takut yang mau ke bawah. Aku malu juga sama Ibuk Bapak. Gimana, Kak?"

Dalam hati Tari sedang tertawa jahat. Begini saja takut, giliran berbuat dia mikir takut nggak? Padahal kondom murah, milih resiko bunting. Dia pikir buang benih di rahim akan terjadi apalagi jika bukan pembuahan? Doorprize liburan ke Korea gitu? Tolol.

"Konsekuensi. Udah gede harusnya ngerti hasil dari perbuatan sendiri," ujar Tari sok bijak yang membuat Tara mencebikkan bibirnya.

Tari memilih turun lebih dulu, dia tak memaksa juga jika Tara tak ingin turun. Yang penting dia sudah melaksanakan perintah dari bapaknya. Perkara adiknya itu tak mendengarnya ya sudah. Namun ternyata adiknya itu mengekor di belakangnya. Dia sadar turun sendirian lebih menakutkan, jika turun bersama Tari setidaknya bisa bersembunyi sedikit di belakang kakaknya itu.

Sarapan pagi ini sangat berbeda selain karena tak ada makanan berat, suasananya juga berbeda. Biasanya ada obrolan hangat di antara ibu, bapak, dan Tara. Kali ini mereka semua diam dengan ekspresi mendung. Hanya Mentari di sana yang merasa suasana sedang cerah sekali seperti matahari pagi.

Batinnya bersenandung ceria. Ujung bibirnya terangkat menunjukkan bahwa dialah satu-satunya yang bersuasana hati baik.

"Kakak kalau sudah selesai sarapan boleh langsung berangkat kerja," ujar Rahman kala melihat isi kotak bubur Tari sudah tandas.

Tari mengangguk kecil lalu berpamitan pada kedua orang tuanya karena paham bahwa mereka akan menginterogasi Tara.

Tara, here we go. Haha.

Bapakmu, Semangatku! Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt