01.

1.7K 108 5
                                    

Seorang wanita dengan setelan semi formalnya mematut diri di depan kaca sebelum akhirnya mengambil sebuah parfum untuk menyemprotnya ke beberapa titik tubuhnya.

Aroma wanita independen, review beberapa pembeli yang membuat wanita itu tertarik membeli parfum tersebut.

Mentari Nandamai namanya, seorang wanita yang terobsesi pada keharuman sesuatu. Apapun itu asal wangi, dia menyukainya. Di meja riasnya lebih banyak botol parfum ketimbang skincare, sebab dia memang sefanatik itu terhadap wewangian. Siapapun yang masuk ke dalam kamarnya pasti akan berkomentar tentang wangi semerbak yang langsung terhirup indra penciumannya.

Mentari mengambil tas kerjanya lalu turun ke bawah untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya.

"Bapak, izin pamit," ujar Tari yang membuat pria paruh baya dengan koran di tangannya menoleh.

"Mau mengajar?" katanya sembari menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Mentari mengangguk, lalu mengulurkan tangannya untuk menyalami Rahman, bapaknya.

Bukannya menerima salam anaknya, Rahman malah bangkit dari duduknya menghiraukan uluran tangan Tari.

"Makan dulu, hargai ibumu yang sudah repot-repot bangun pagi masak buat keluarga," katanya lalu berjalan ke ruang makan dengan tangan terlipat ke belakang, menampilkan sifat kewibawaannya.

Tari mengekor di belakangnya. "Pak, hari ini Senin jalanan pasti macet banget, Tari ngajar pagi," ujarnya yang membuat Rahman menghentikan langkahnya. Dia menoleh sembari menurunkan kaca matanya sampai ujung hidung.

"Bangun lebih pagi, bantuin Ibu masak biar makanannya siap lebih cepet dan kamu bisa berangkat lebih cepet juga," katanya terdengar tak menerima alasan.

Tari menghela napas samar lalu meletakkan tasnya dan menuju dapur kotor untuk membantu Tara dan Gauri--ibunya memasak.

Gerakannya terhenti kala mendengar bapaknya membanding-bandingkan dirinya dengan Mentara Nandamai alias Tara, adiknya.

"Kok yo kalah sama adikmu itu. Dia bangun pagi, sholat, terus bantu ibu juga. Kamu jangankan bantu ibu, subuhan aja kelewat," katanya yang membuat Tari mencengkeram pegangan tasnya.

Dia tak apa diceramahi perihal kelewat subuh atau kesalahannya yang lain, tapi dia paling jengkel jika dibandingkan dengan adiknya, seolah dia penuh dosa sedang Tara manusia suci.

Padahal Tari tahu benar kelakuan adiknya itu sebelas dua belas dengannya.  Ya  ... setidaknya dia tahu Tara pernah teler karena beberapa waktu lalu terciduk olehnya di club yang berakhir kesepakatan antara Tari dan Tara untuk tidak saling mengadukan kejelekan masing-masing.

Mereka berdua sama, hanya saja Tari tak tahu cara menjilat kedua orang tuanya seperti yang Tara lakukan sampai kedua orang tuanya selalu memuji adiknya itu.

Tari menghiraukan bapaknya yang terus membandingkan dirinya dengan Tara yang saat ini tengah menjadi sosok anak baik, patuh pada orang tua, sholehah. Lihat adiknya itu masih memakai mukenah saat memasak. Esensinya apa jika bukan untuk memberitahukan pada kedua orang tuanya bahwa dia selesai sholat.

Tari ingin muntah melihat pencitraan itu.

Dia lalu mendekati Gauri dan Tara untuk membantu mereka, merelakan tubuhnya yang nantinya akan bau masakan.

Setelahnya mereka semua makan bersama di meja makan, ditemani obrolan hangat antara Rahman, Gauri, dan Tara. Tari sendiri hanya fokus menghabiskan makanannya dengan cepat sebab dia harus segera berangkat saat ini juga jika tak ingin mempermalukan dirinya sendiri atas peraturan yang dia buat kepada mahasiswanya.

Bapakmu, Semangatku! Where stories live. Discover now