FOTOSINTESIS ASA - 2/5

139 14 0
                                    

BAB II "Pohon yang sudah menjadi abu."

Dia tahu, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tapi mengapa rasanya masih berat untuk melepaskan orang yang telah dipanggil Allah? Apalagi orang itu adalah orang yang paling disayanginya di dunia ini. Tidak bisakah Allah memanggil yang lain saja?

***

[Surabaya, seminggu yang lalu sebelum melihat pohon Bimo]

"Biar om Rio aja yang nganterin kamu pulang ya, Za," ucap Sinta ketika melihat Khanza sibuk dengan ponselnya usai mengajar.

"Nggak usah, tan. Kasian om Rio kalau harus nganterin Khanza malem-malem, besok pagi kan om Rio harus ngantor," tolak Khanza.

Sebenarnya itu yang diinginkan Khanza. Mendapatkan tumpangan pulang ketika tidak ada yang menjemputnya. Namun, jika Rio yang harus mengantarkannya, ada rasa sungkan menggerogoti hatinya. Rio dan keluarganya sudah sangat baik kepadanya, akan sangat kurang ajar jika dia menambah beban mereka.

Ibunya dan Sinta sudah berteman sejak duduk di bangku SMA. Memang bukan termasuk sahabat, namun mereka berhubungan baik. Maka dari itu, ketika ibunya Khanza meminta supaya Khanza memiliki pekerjaan, Sinta langsung menawari untuk menjadi guru lesnya Abi. Untung waktu SMA Khanza pinter dan cara mengajarnya juga enak, jadilah Abi sih setuju-setuju aja.

"Terus kamu naik apa? Shofyan kan lagi shift malem, nggak mungkin kan bisa jemput kamu," suara sinta terdengar kembali. Namun kali ini terdengar khawatir akan anak temannya itu.

"Naik ojol mungkin, tan," Khanza menjawab sambil berusaha untuk memesan ojol lewat ponselnya.

Sebenarnya Khanza juga tidak yakin apakah ada driver ojol yang masih menerima pesanannya. Ada sih, namun harganya mahal. Mungkin karena sudah malam. Mana dia tak punya promo lagi.

"Udah dianterin om aja. Tante juga ikut kok, sekalian beli cemilan." Sinta akhirnya membuat keputusan final setelah melihat wajah Khawatir Khanza.

Merepotkan orang lain bukanlah menjadi watak Khanza. Ibunya selalu menanamkan kemandirian kepadanya. Meskipun dia perempuan, tapi sebisa mungkin tidak membutuhkan laki-laki dalam segala bidang.

Tapi, dalam situasi seperti sekarang ini sepertinya Khanza akan sering merepotkan orang lain. Terutama kepada masnya. Sering minta diantar jemput ketika dia hendak bepergian. Apalagi masih ada 4 murid les yang lain yang harus dia datangi rumahnya.

Untungnya dia memiliki mas yang pengertian. Sangat memahami kondisi dirinya yang sebenarnya tidak baik-baik saja jika harus berpergian sendirian. Khanza masih butuh pengawasan dari orang lain ketika sedang di luar, karena dia menyadari bahwa dia sangat ceroboh.

"Tante beliin ontel aja ya buat kamu. Mumpung murid-murid kamu rumahnya nggak begitu jauh dari rumahmu. Atau tante beliin motor yang ringan buat kamu aja ya?" suara Sinta memecahkan keheningan di dalam mobil.

"Nggak usah, tan. Masih ada mas Shofyan yang bisa anter jemput aku," jawab Khanza dengan segera.

Sebagian orang mengira bahwa dia masih belum bisa mengendarai motor, karena selalu diantar jemput oleh Shofyan. Padahal tidak. Ada sebuah tragedi yang membuatnya trauma untuk mengendarai motor sendiri. Dia justru kehilangan seseorang yang dicintainya berkat mengendarai motor yang sembarangan. Berkat tragedi tersebut, membuat Khanza merelakan satu tahunnya untuk kuliah karena pada waktu itu dia benar-benar tidak menaruh minat pada bumi dan isinya. Dia memilih gap year untuk tahun ini setelah lulus dari bangku SMA dan memilih untuk bekerja mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk biaya kuliahnya nanti.

Setiap harinya dia bekerja sebagai guru les. Ada yang secara privat ada pula yang secara berkelompok. Setiap muridnya dijatah 3-4 hari di jam yang berbeda. Untuk Abi, mendapatkan giliran di hari Selasa, Rabu, dan Jum'at di jam setengah 7 sampai setengah 9 malam.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Where stories live. Discover now