GERIMIS DI SUDUT KEDU - 2/5

274 23 3
                                    

BAB 2

Sebuah Percakapan

Tidak ada yang istimewa di Pasar Legi Parakan, kecuali jajaran keranjang tembakau yang memenuhi setiap depan ruko hingga melewati batas trotoar. Tidak lebih ramai dengan Pasar Karangjati yang biasa Bapak kunjungi. Jalanan lebih lenggang hanya dengan berisikan bus-bus dan angkutan desa serta andong di depan pasar. Hanya ada beberapa motor bebek yang terparkir dan sisanya diisi mobil-mobil pick up yang mengangkut tembakau kering, keranjang kosong, serta sayur-sayuran.

Pakde sudah lebih dari satu jam meninggalkanku di parkiran setelah menurunkan tujuh keranjang tembakau kering dan mengangkutnya ke toko Koko. Sedangkan setengah jam yang lalu, Mas Nanang akhirnya menampakkan batang hidungnya. Dia datang dengan tergesa dan penuh kewaspadaan. Sebatas memastikan bahwa aku benar-benar tiba di pasar, kemudian sama-sama memintaku untuk menunggu.

"Sudah diproses." Mas Nanang lebih dulu muncul dan mengambil jok kosong di sampingku. "Sebentar lagi pasti barangnya masuk gudang dan ditukar keranjang lain buat dibawa pulang. Barang yang jelek itu, yang nanti bakal diakukan milik petani Jayakersa dan dibilang enggak lolos seleksi." bisiknya. Mas Nanang mengaku sudah mengamati tabiat seperti itu selama tiga minggu belakangan.

"Bukannya tadi jelas-jelas masih bagus pas dibawa ke sini?" Aku tak paham dengan asumsi Mas Nanang.

"Diakuin yang dulu, Mas. Yang dibawa dua minggu sebelumnya. Apa iya masih ingat? Apalagi kalau sudah dibongkar-bongkar gitu, mana orang-orang tahu. Orang yang udah percaya barangnya di jual ke Mbah Muh pasti tahunya cuma nggih-nggih saja. Manut-manut saja ditipu."

Ah, masa iya, batinku. Wajah Mas Nanang bahkan lebih tidak meyakinkan dibanding Pakde dan Mbah Muh. Aku turun dari mobil untuk membuktikan apa yang dikatakan Mas Nanang dan lelaki itu tak cukup cekatan untuk mencegah gerakanku. Namun, belum juga langkahku sampai di toko Koko, Pakde lebih dulu muncul dan menghadangku di tengah jalan.

"Mau ke mana, Tra?" tanya Pakde.

Bukannya menjawab, aku berbalik mengajukan pertanyaan, "Pakde sudah selesai?"

"Belum. Ini makanya Pakde mau minta kamu buat pulang dulu saja ke Jayakersa. Bilang ke Mbah Muh kalau uang tembakau yang dua minggu lalu belum bisa turun. Ini malah masih mau dipilih lagi karena kemarin ada yang enggak bisa masuk pabrik."

Aku mengernyit, tetapi tak mengeluarkan barang sepatah kata untuk bertanya lebih lanjut akan hal itu. "Pakde pulangnya gimana?"

"Gampang. Nanti putrane Mbah Muh yang jemput. Kamu juga hari ini jadi pulang ke Semarang, ta? Istirahat dulu di rumah. Nanti pulang kalau sudah sore biar enggak kepanasan di jalan."

Aku mengangguk. Membiarkan Pakde menepuk pundakku dua kali sebelum kembali ke toko Koko dan melanjutkan bercakap-cakap dengan seorang keturunan Tionghoa itu. Ketika aku kembali ke mobil, Mas Nanang sudah tak ada di sana. Entah ke mana lagi perginya lelaki itu sebab tiada satu pesan pun yang ia tinggalkan.

Mobil pick-up Bapak benar-benar kubawa meninggalkan pasar. Meskipun pikiranku masih menimbang-nimbang mana yang benar antara Pakde dan Mas Nanang. Bagaimanapun, apa yang dikatakan Mas Nanang terdengar begitu dramatis. Dan konyolnya, gerak-gerik Pakde justru mendukung cerita yang dipaparkan Mas Nanang.

Memang seharusnya aku ikut Bapak untuk tak lagi kembali ke Jayakersa. Bukan topik skripsi yang kudapatkan, tapi malah masalah perdagangan yang kian membingungkan. Akun tanpa nama yang pernah mengunggah berita tentang kebohongan seorang kyai di daerah ini pun tak lagi aktif. Seolah hanya menaburkan omong kosong yang sama sekali tak berpeluang untuk dibuktikan. Jika benar saja tak mendapat jawaban setelah jauh-jauh ke mari, biar kuangkat kisah Jayantaka saja di seminar proposal nanti dan kujadikan Mbah Muh sebagai narasumber utama. Selesai.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang