KLANDESTIN - 4/5

357 40 10
                                    

Hola, semuanyaaaa!

Peringatan, kali ini kita akan di lempar ke masa yang jauuuuh banget. Udah siap, belum??

Bab 4

Jiwa yang Terkurung

Terdengarlah suara azan. Perasaanku seketika terusik dengan suara yang terdengar merdu dan disertai kesedihan ini. Aku bukan orang yang romantis, tapi percayalah, siapa saja yang berada bersamaku sekarang, kujamin akan mengerti rasanya. Sorot mata muazin itu sejak awal, seperti mencari-cari sosok kekasih yang selalu dinantinya dengan berlinangan air mata. Aku mengetahuinya karena semua pelafalannya tertuju pada kerinduan yang teramat dalam. Azan macam apa yang membuat hatiku ikut bersedih? Kemudian, begitu sampai pada lafaz asyhadu anna muhammadar rasulullah ... azan itu tidak pernah selesai.

Tidak pernah sebelumnya, bahkan seumur hidupku mendengar azan yang bisa berdampak sehebat ini. Air mataku menetes deras tanpa tahu sebabnya. Aku merasa lemas dan bersimpuh ke tanah karena tidak kuat dengan perasaan sendiri. Kejadian ini juga diiringi dengan pecahnya tangis semua orang. Aku bertanya-tanya siapa dia? Siapa orang yang melakukan azan tadi?

"Kukira Rasulullah kembali ke tengah-tengah kita karena Bilal bin Rabah mengumandangkan azan lagi. Ternyata tidak," kata seseorang yang berada di dekatku dengan bahasa arab. Namun aku memahaminya seperti mendengar bahasa Indonesia.

Bilal bin Rabah. Dulu sekali, aku memang pernah mendengar kisah tentang beliau, tapi tidak pernah kusangka kalau kejadian sebenarnya akan seemosional ini. Bahkan suara azannya seolah mengajak semesta untuk hening dan jatuh pada rindu yang tak berdasar. Aku tak akan sanggup jika harus mendengarkannya sekali lagi.

Kemudian sosok itu menampilkan sesuatu seperti layar besar yang serupa layar 3D—bahkan lebih canggih lagi. Aku diperlihatkan kelebatan kehidupan Bilal bin Rabah dari lahir hingga wafatnya.

Lalu aku merasa tubuhku seperti jeli dan tersedot pada masa ketika Bilal bin Rabah disiksa oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf yang seorang Quraisy. Beliau disiksa karena pengakuannya yang telah mengikuti keyakinan Muhammad S.A.W.

Saat itu Umayyah murka mengetahui itu. Kedua tangan Bilal bin Rabah diikat dan Umayyah memanggil semua teman-temannya untuk ikut menyiksa Bilal bin Rabah sampai berdarah-darah karena cambukan.

Aku merasakan kengerian yang teramat nyata di depan mata. Terlihat bagaimana kilatan kebengisan dari sorot mata Umayyah yang membenci Muhammad S.A.W dan ajaran yang dibawanya. Dia tidak bisa menerima kalau budaknya pun mengikuti orang yang ia benci. Kalau aku yang berada di posisi itu, sudah pasti aku akan menghindari penyiksaan itu bagaimanapun caranya. Entah kabur sekuat tenaga atau berbohong. Pokoknya selamat.

Kemudian aku mengalami perpindahan hari seperti lembaran buku yang halamannya dibalik, aku merasanya seperti itu. Benar-benar seperti buku pop-up anak balita di mana aku ada di tengah-tengahnya.

Bilal bin Rabah diseret di sepanjang jalanan, ditonton banyak orang. Umayyah memberi pengumuman untuk siapa saja boleh ikut menyiksanya termasuk para budak lain. Pada saat itulah aku sudah tidak tahan lagi, entah karena jiwa kemanusiaanku bangkit atau apa.

Aku hendak meneriaki orang-orang itu, tapi mulutku menutup rapat seakan diberi lakban. Berkali-kali kucoba membuka mulut untuk bersuara, berkali-kali juga gagal. Akhirnya aku hanya bisa menyampaikannya di pikiranku saja. Berhenti kalian melempari dia! Kalian gak punya hati, ya? Aku terus melakukannya. Kalau saja ada yang berkemampuan membaca pikiran, sudah pasti dia akan terganggu denganku yang berteriak. Betapa sakit hatiku melihat beliau dilempari batu dan sebagainya di sepanjang jalan.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Where stories live. Discover now