Gegara Kecoa Laknat

396 35 9
                                    

Sedang jenuh menunggu hujan reda, ponsel Sena berdering. Dengan malas, gadis itu pun mengambil benda pipih  dari dalam tasnya. Melihat nama kontak yang memanggil, senyum di bibirnya pun mengembang.

"Halo, assalamu'alaikum, Mas Hamdan?"

"Wa'alaikumussalam. Kamu di mana, Senara? Saya cariin kamu di tempat acara, kata Zeela kamu udah pulang. Kamu pulang sama siapa? Terus udah sampai rumah belum?"

"Saya masih di jalan kejebak hujan, Mas. Saya pulang sama temen,"

"Lokasinya di mana? Saya jemput,"

"Eh, nggak usah, Mas! Soalnya udah dekat sama rumah saya. Lagian saya di sini sama temen. Ntar nggak enak kalau dia saya tinggal,"

Terdengar helaan napas lega di seberang telepon.

"Ya udah. Terus tadi kenapa buru-buru pergi?"

Sena diam dalam resah. Ia tidak mungkin jujur bukan mengenai hubungan tanpa kejelasannya dengan Gus Zain?

Sebenarnya, setelah ia lulus sekolah saat itu. Hamdan beberapa kali memberi kode ingin mengajaknya menikah. Namun, karena Sena masih mengharapkan Gus Zain, ia pun kerap kali membuat alasan bahwa ia belum siap untuk menikah muda.

Hamdan sudah sangat baik padanya, juga pada keluarganya. Beberapa kali ia memberi pengobatan gratis pada Emak, dan adik-adiknya ketika mereka sakit. Sena sampai tidak enak hati sendiri lantaran sering mengulur waktu menerima lamaran pria itu.

Tapi sekarang, sepertinya Sena sudah siap jika Hamdan kembali memintanya untuk menerima lamaran pernikahan.

"Senara?"

Sena terkesiap. Ia jadi hanyut pada pikirannya.

"Nggak apa-apa, Mas. Tadi memang mau pulang cepat aja. Mas masih di pesantren, ya?"

"Iya, masih. Sebentar lagi saya juga mau pulang. Oh iya, gimana keadaan Emak?"

"Alhamdulillah, Mas."

"Alhamdulillah. Resep obat yang Mas kasih udah ditebus?"

"Udah, Mas."

"Ya udah. Nanti malam Mas ke rumah, ya. Mas sekalian mau jenguk Emak,"

"Memangnya Mas nggak sibuk? Bukannya Mas harus buka klinik?"

"Nggak, kok. Nanti malam kan malam minggu. Klinik tutup,"

"Oh gitu. Ya udah, datang aja, Mas."

"Iya."

"Em."

"Kalau hujannya udah reda, kamu buruan pulang, ya. Jangan ke mana-mana lagi,"

"Iya, Mas. Siap!"

"Ya udah, assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam."

Panggilan pun berakhir. Beruntung Hamdan tidak bertanya jenis kelamin teman yang menjemputnya. Jika pria itu sampai tahu, kalau Zaid yang menjemputnya. Mungkin Hamdan akan langsung menyusul meski Sena melarangnya.

Sena kembali menyimpan ponsel ke dalam tas. Sementara itu di sampingnya, Zaid terlihat gelisah di sana. Entah sudah berapa kali ia terus memandangi arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Sesekali pemuda itu akan mengibas-ngibaskan bajunya guna menghilangkan rasa risih akibat basah terkena hujan.

"Tahu gini bawa mobil gue!" sungutnya. Ia kembali duduk di sebelah Sena dengan jarak setengah meter.

Sena di tempatnya hanya bisa diam mendengarkan kekesalan Zaid. Ia tidak berniat meminta maaf karena dia bukan avatar pengendali air. Toh, air yang turun dari langit kan sudah bagian dari takdir. Bukan salahnya. Begitu lah isi pikiran Sena, membela diri supaya tidak terlalu merasa bersalah pada Zaid.

Hello, My SunshineWhere stories live. Discover now