Lembar 4 - Tempat berteduh

67 17 0
                                    

Candana dan Sadam duduk di halte sambil menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Kira-kira sudah 30 menit semenjak bel pulang berbunyi. Murid lain yang berteduh pun sudah satu persatu meninggalkan halte dan memilih untuk menerobos guyuran hujan.

Sadam berkali-kali membuka kacamatanya untuk mengelap embun yang terus menerus muncul dan membuatnya kesal sendiri.

Akhirnya si kutu buku itu memasukkan kacamatanya ke saku dan bersandar dengan kesal. Dia menatap Candana, teman karibnya yang asik menatap hujan dengan anteng.

"Kesambet?" Candana yang terkejut hanya terkekeh dan menggeleng karena gurauan Sadam.

"Kirain."

Lalu... Canggung. Sadam menghela napas panjang kemudian mengeluarkan jas hujan kuning cerah dari tasnya.

"Kenapa nggak dari tadi?" Sadam hanya diam sambil memakai setelan jas hujan miliknya.

"Gue pulang, stella dan Mamih khawatir."

Candana tertawa mendengarnya. Sadam ini cukup... Bukan, emang aneh. Stella-motor matic kesayangannya memang sudah terparkir di hadapan mereka sejak tadi dan ponselnya terus berbunyi menandakan 'Mamih'nya sudah khawatir.

Sadam berjalan keluar dari halte dan menaiki motor maticnya.

"Hati-hati, Dam!" Lelaki berkacamata itu mengangguk dan menerobos hujan dengan jas hujannya. Sementara Candana masih duduk diam di halte.

"Bang Hanan? Ini hujannya makin gede loh!" Serunya sambil berjalan ragu di bawah payung sempit berwarna biru milik Hanan.

Lelaki yang memegang payung itu berdecak kesal. "Gue tinggal ya lo kalo ngomong mulu!"

Kaki mereka melangkah beriringan tanpa peduli air yang menembus sepatu dan membasahi kaki mereka. Hujan tak kunjung reda walau mereka sudah jauh berjalan.

"Nanti, Bang Hanan jangan jemput Candana kalau hujannya gede! Nanti masuk angin," pintanya sambil terus memegangi ujung kaos oblong Hanan.

"Gue mah pengen terus jemput lo. Bahkan kalo lo udah bangkotan juga gue masih mau terobos hujan badai halilintar buat lo!" Sahutnya lalu terkekeh.

Candana hanya bisa menyengir karena merasa tersanjung kala itu. Walau akhirnya mereka tiba di panti di ujung hari, dengan tubuh menggigil dan lantai yang basah terciprat air, tapi menjadi suatu kenangan yang menyentuh hatinya.

Payung itu selalu mengantarnya pulang ke rumah tanpa membasahi satu-satunya seragam yang ia punya. Dia tidak pernah tahu mengapa payung kecil itu cukup untuk mereka berdua, sampai Candana menemukan kalau Hanan hanya memayungi setengah tubuhnya setiap pergi menjemputnya.

Hujan berhenti Candana berjalan setelah turun dari angkot. Dia berbalik dan merubah rutenya. Ia berhenti di tempat pemakaman umum, jantungnya berdegup tak karuan. Candana membeli bunga dari sisa uang jajannya dan melangkah masuk kesana.

Sambil membaca nama-nama nisan milik orang lain dia berjalan mencari, Candana tersenyum saat melihat nama yang selalu dirindukannya. Candana tak peduli seragamnya terkena tanah basah. Dia berjongkok dan berdoa dengan seribu harapannya.

Candana menahan airmata yang hampir jatuh. Dia menaburkan bunga di atas makam itu dan kembali berjongkok untuk mengelus papan kayu di sampingnya.

"Candana kangen banget. Hari ini hujan, tapi nggak ada yang bisa jemput Candana lagi," lirihnya sambil mengusap ujung matanya yang basah.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Mar 17 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

[2] Turning PageDove le storie prendono vita. Scoprilo ora