Setoran dengan Junior(?)

25 1 0
                                    

"Nara itu beda dengan Mbak Nala, dan aku sangat malas setoran dengan dia."

—El_Ma

***

Aku masih tidak habis pikir saat Nara mengatakan hal itu padaku. Kenapa tiba-tiba dia begitu, ya?

"Sampun, Ning?"

Aku sedikit terperanjat saat dia tiba-tiba muncul di depanku dengan mendekap mushaf bersampul bunga sakura, bahkan tangan kirinya membawa sebuah buku gelatik isi 100 berwarna merah juga. Untuk apa, ya, kira-kira?

"Mau ngapain bawa buku segala, Ra?" tanyaku yang sudah terlanjur kepo. Aku langsung merebut buku tersebut, tapi buku itu tidak berpindah ke tanganku—dia memang terlihat lebih cekatan dari yang kukira.

Aku sudah memasang wajah bete, tapi dia tetap pada ekspresi datarnya dan mulai menggaris-garis buku yang kami rebutkan tadi. Dia berkata, "Nara disuruh Ummi."

Ya ... kalau sudah disuruh ummi, aku bisa apa? Aku langsung memalingkan wajah dan memperhatikan keluar jendela yang memperlihatkan lalu-lalang mbak-mbak santri yang bercanda ria di koridor pesantren. Ah, aku jadi teringat Mbak Nala lagi ... bahkan selama dengan Mbak Nala, aku tidak pernah sebosan ini, apalagi di ndalem seperti ini.

"Nara harus tahu perkembangan ngaos-nya Ning Elma, jadi Ummi suruh Nara untuk bikin absen tiap Ning Elma setoran undakan ataupun deresan." Aku melihat ke arahnya sebentar, tapi dia masih fokus ke buku yang digaris-garisnya sejak tadi, dan dengan kembali menghela napas aku pun menelungkupkan wajah ke meja kecil yang biasa kugunakan setoran dengan Mbak Nala.

Seketika suasana sunyi, aku tidak mendengar suara pen yang beradu dengan kertas bersama penggaris lagi. Apa Nara sudah selesai?

"Sudah?" tanyaku dengan mengangkat wajah. Nara terlihat memperhatikanku dengan ekspresi datarnya, tangannya meletakkan pen yang dipegangnya dan membuka mushaf—tapi tatapannya masih menikam mataku, membuatku bergidik ngeri. Apa dia marah hanya karena aku menelungkupkan wajah?

"Ya sudah, mulai ...." Aku menelan saliva dengan susah payah, melihat tatapan tajam dan juga ekspresi datar itu membuatku sungguh ketakutan. Bahkan, aku tidak pernah setakut ini saat berhadapan dengan Mbak Nala saat mau setoran.

Aku masih menunggunya, tapi dia tak kunjung buka suara. Ada apa? Apa lagi yang salah?

"Ayo dong, mulai ...," ucapku lagi dengan masih setengah ketakutan. Namun, sekarang ekspresinya berubah, dia mengerutkan dahi dan semakin tajam menatapku. Apa lagi ini? Kenapa tatapannya mengintimidasi begini?

"Ra ... kamu ngapain, sih, begitu? Nakutin aja!" ujarku dengan tersenyum miris, lebih tepatnya aku ketakutan saat dia semakin menunjukkan wajah tidak sukanya ke arahku. "Apa, sih, Ra? Aku buat salah sama kamu? Kenapa? Ada apa?"

Sumpah, baru kali ini aku seperti mengemis penjelasan pada orang yang lebih muda usianya daripada aku. Bahkan, dengan Mbak Nala pun aku malah lebih sering ngambek ketimbang ngemis penjelasan. Tapi dia memang berbeda, dia tidak sama dengan Mbak Nala.

"Mau setoran, 'kan? Kenapa dari tadi bilang mulai-mulai tapi nggak mulai-mulai?"

Aku sedikit kaget saat dia bicara dengan santai seperti itu. Apa ini sifat aslinya? Sebenarnya dia siapa, sih?

"Ya kan ... kalau undakan biasanya aku dibacain sama Mbak Nala ...," ucapku dengan masih sedikit ketakutan. Sumpah, wajahnya benar-benar terlihat menakutkan saat ekspresi menahan kesal seperti ini.

"Mbak Nala lagi, Mbak Nala lagi! Mbak Nala aja terus, Mbak Nala aja terusss!!!" Dia sampai menggebrak meja, aku benar-benar terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi sangat brutal seperti saat ini. Dia kenapa sebegitunya? Apa masalahnya?

"Bisa nggak, nggak usah bahas Mbak Nala? Bisa nggak, nggak usah sebut nama Mbak Nala? Bisa nggak?!"

Aku tertegun, bahkan kerongkonganku terasa amat kering hingga untuk menelan saliva pun rasanya sangat sakit. Dia kenapa sebegitu marahnya hanya karena Mbak Nala? Memangnya dia kenal dan pernah bertemu dengan Mbak Nala? Kenapa dia terkesan sebenci itu dengan Mbak Nala?

"Ning! Sekarang Ning Elma lagi sama Nara, bukan Mbak Nala! Bisa dong yang profesional sedikit?!" Dia kembali membuatku terperangah, dia benar-benar terlihat seperti orang yang berbeda dari sebelumnya. Apa dia juga memiliki temperamen seperti aku? Apa dia biasanya juga seperti ini saat selain bersamaku?

"Mulai sekarang, setiap hal yang berhubungan dengan Mbak Nala, Nara tidak mau ikut campur!" Dia terlihat membereskan buku dan alat tulisnya, kemudian bangkit dari tempat duduknya. "Terkecuali jika Ummi atau Abah yang ndawuhi!" Tepat setelah mengucapkan hal itu, dia pergi. Aku diam terpaku dan masih sangat terkejut melihat perubahan sikapnya yang aneh. Sebenarnya dia kenapa, sih? Apa dia pernah punya pengalaman buruk dengan Mbak Nala? Tapi, dia kan santri baru, dia tidak mungkin kenal Mbak Nala, 'kan?

***

Aku melongokkan kepala ke shaf belakang, tapi tidak melihat Nara di manapun. Beberapa santri berbisik saat melihat ke arahku, saat aku gantian menatap mereka, mereka langsung diam sembari menunduk dalam.

Huuu! Dasar! Tukang gosip!

Nara ke mana, ya? Apa dia udzur? Kok tidak kelihatan pas jamaah?

Abah sudah takbiratul ikhram, aku dan santri yang lain mulai khusyu' dalam ibadah sholat maghrib ini ....

***

Aku ingin marah, tapi rasanya tidak bisa kukeluarkan seperti biasanya saat bersama Mbak Nala. Entah kenapa, sejak bertemu dengan Nara, aku lebih sering menahan emosiku, dan selama tiga hari ini, aku tidak pernah menjumpai Nara di manapun. Tidak ada yang mau memberitahu tentang keberadaannya dengan alasan mereka 'tidak tahu', tapi aku yakin dia masih di area pesantren.

Sebenarnya aku bisa saja tanya Mbak-mbak pengurus atau ummi, tapi aku gengsi. Aku lebih memilih mencarinya di mana-mana, ke satu kamar dan kamar lainnya, hingga banyak rumor kalau Nara menghilang setelah marahan dengan aku. Namun, apa benar dia menghilang? Maksudnya, dia kabur?

Ah, tidak mungkin, 'kan?

"Piye, sih, El? Kok muter-muter dari tadi ngajimu!" Aku tersadar saat ummi mengetukkan dengan keras rotan yang dipegangnya ke meja ngaji, dan aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tak gatal.

Ah, ternyata aku benar-benar tidak bisa setoran tanpa Mbak Nala. Biasanya kalau undakan pasti dibacakan sama Mbak Nala sampai aku bisa, bahkan untuk deresan pun masih di-titah olehnya. Setidakbisa itu aku hidup tanpa Mbak Nala, apalagi sekarang pikiranku sedang kacau karena Nara yang tidak tahu di mana. Dan, ya ... ini semua gara-gara si Nara! Dia tidak mau membacakan undakan untukku! Aku tidak suka setoran dengan dia!

"Mi ... Elma setorannya sama Mbak Nala aja, ya?"

"Maksudmu apa, El? Mbak Nala kan udah nggak di sini, tho?" Ummi terlihat menahan amarahnya karena ngajiku melenceng ke sana dan kemari, apalagi mendengar ucapanku ini.

"Ya kan masih bisa telpon. Setiap setoran Elma telpon Mbak Nala, biar setorannya lewat telpon. Ya, Mi, yaaaa?" bujukku, aku memperlihatkan wajah yang sangat melas agar diperbolehkan. Andai kalian tahu, aku sebenarnya tidak pernah diperbolehkan ummi atau abah memegang hape, jadi aku termasuk manusia gaptek. Untuk tugas sekolah, aku selalu meminta temanku yang mengerjakan, jika itu urusan dengan teknologi, yang lainnya aku bisa sendiri.

"Kamu masih nggak merasa bersalah, El?"

Aku mengerutkan kening saat ummi bertanya seperti itu. Merasa bersalah apanya? Bukankah harusnya yang merasa bersalah itu ummi dan abah, karena telah memisahkan aku dengan Mbak Nala? Kenapa jadi aku yang harus merasa bersalah?

"Gara-gara kamu ... Nara masuk rumah sakit!"

Hah?! Nara masuk rumah sakit?! Gara-gara aku????

***

Salatiga, 11 Februari 2024

Ning ElmaWhere stories live. Discover now